Sunday, September 8, 2019


Kereta Terakhir Itu Tiba
Oleh: Silvia Destriani


Padang Panjang, 23 Maret 1945.

Pemuda berkulit sawo matang, bertubuh tegap, dengan sedikit cambang yang belum sempat dicukur itu masih berdiri di depan cermin. Di pantulan kaca, ia bisa melirik seorang gadis yang sedang terpukau memperhatikannya dari atas ranjang.

Binar mata indah gadis itu, menyiratkan perasaan mendalam padanya yang sedang asyik memindai diri.

Usai membersihkan tubuh selepas pergumulan panas semalam, pagi ini pemuda itu harus segera menjalani tugas negara. Sebagai salah seorang patriot perjuangan kemerdekaan, ia dipercaya menjadi kurir—penyampai pesan.

Dialah Ridwan, darah pejuangnya sudah mengalir sejak lahir. Saat berusia sepuluh tahun pun, pemuda itu pernah mengikuti mendiang ayahnya ke Batavia dalam Kongres Pemuda Oktober 1928, menghasilkan Sumpah Pemuda.

Namun, jiwa juangnya ternyata tak sejalan dengan akhlak yang dia punya. Buktinya, ini kali kedua Ridwan menikmati permainan tak halal bersama Marina—putri Kepala Desa—yang cinta mati padanya.

“Uda, apa harus pergi?” ucap Marina. Gadis dua puluh tahunan itu dengan manja bergelendot di lengan sang pujaan, belum mengenakan kembali pakaiannya. Hanya selimut yang membungkus tubuh.

Ridwan mengangguk, lalu menghadiahi ciuman hangat di bibir Marina hingga membuatnya tersipu.

“Tidak bisa ditunda? Harus naik kereta?” ucap Marina lagi. Ia menggigit bibir bawahnya, tanda sebuah kekhawatiran yang teramat sangat.

“Tenang saja, Rin, Uda pasti akan pulang. Percayalah!” Ridwan mendudukkan tubuh sintal itu di pinggir ranjang, lalu membelai lembut kepala Marina. Lagi-lagi, gadis itu luluh.

Kecelakaan kereta di Lembah Anai tiga bulan lalu, tentu saja membuat hati Marina bergemuruh. Ia mencemaskan keselamatan Ridwan.

Dua ratus orang tewas mengenaskan dalam tragedi itu. Sedangkan ratusan penumpang lainnya mengalami luka-luka. Marina tahu berita itu dari ayahnya yang turut serta dalam tim penyelamatan.

Bukan hanya soal Ridwan, tapi … sesuatu yang entah. Seminggu ini, gadis itu merasa mual setiap bangun pagi bahkan kemarin ia sempat muntah-muntah.

“Loh, kok, malah ngelamun? Bukankah siang nanti ayah ibumu akan pulang? Aku akan mengantarmu sampai ujung jalan sebelum ke stasiun nanti. Bersih-bersihlah dulu.”

Ucapan Ridwan membuyarkan lamunan Marina, sebelum akhirnya ia mengambil handuk dan melangkah ke kamar mandi.

***

Di bawah pohon randu alas yang bunga-bunganya mulai bersemi merah, sepasang sejoli mengikat janji.

“Tunggu aku pulang, Marina. Selepas semua ini, aku akan segera melamarmu, Sayang. Lima bulan lagi.” Ridwan menangkupkan kedua telapak tangan di wajah tirus kekasihnya. Disambut senyuman manis gadis itu.

“Uda janji? Tapi …,” ucap Marina lirih. Terbesit kegelisahan di hati akan suatu hal yang belum sanggup diungkapkan.

“Tapi, kenapa, Rin? Kau tak percaya padaku?” Ridwan membaca kegalauan gadisnya. Ia berpikir mungkin Marina hanya khawatir saja.

“Ah … tidak, Uda. Aku hanya mencemaskan Uda. Jaga diri baik-baik, ya. Aku tunggu Uda di sini, dua hari lagi.” Senyum Marina merekah, berusaha menutupi ketakutannya akan kehilangan sang pujaan hati.

Aku tak mungkin mengatakan tentang mual-mualku padanya. Aku takut ia menolak dan meninggalkanku. Hati kecil Marina menangis.

***

Lembah Anai, beberapa jam kemudian.

Kereta mulai memasuki jalur berbahaya yang terjal dan berliku. Timbul kengerian di hati Ridwan akan kecelakaan yang terjadi di jalur ini tiga bulan lalu.

Tiba-tiba muncul wajah cantik Marina di pelupuk mata. Marina, aku mencintaimu. Sepersekian menit, Ridwan terhanyut dalam lamunannya. Hingga ia dikejutkan oleh suara hiruk pikuk dari gerbong depan.

Spontan, tubuh tegapnya bergerak ke arah suara. Orang-orang sudah berhamburan panik. Teriakan kengerian membahana.

“Jembatan putus! Jembatan putuuus! Tolooong … ya Allah! Allahu Akbar!” Gema takbir terdengar pilu. Tangisan bercampur suara rem kereta yang berdecit tanda dihentikan paksa, seakan menambah suasana semakin mencekam.

Sekuat apapun masinis berusaha menarik tuas rem, nyatanya semua sia-sia belaka. Kereta tetap berjalan, menuju rel yang berada di atas jembatan.

Dari pintu pembatas antar gerbong, tatapan Ridwan nanar mendapati pemandangan di depan mata. Ia sudah tak peduli lagi pada teriakan menyayat hati para penumpang yang tak siap menghadapi maut.

Kepala lokomotif mulai terjun bebas menuju dasar lembah, lalu diikuti gerbong di belakangnya, dan … kini gerbong di mana Ridwan berpijak berdentum mengeluarkan suara ledakan yang amat dahsyat.

***

Oktober, 1945.

Pekik kemerdekaan seakan menggema di seantero penjuru tanah air. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia telah dikumandangkan sebulan yang lalu. Namun, Marina masih terkungkung dalam kesedihan.

“Udaaa … mana janjimu? Bukankah kau bilang akan segera melamarku setelah semuanya selesai? Inilah saatnya, Udaaa …,” teriak Marina. Tangis pilunya seakan memecah kesunyian.

Berbulan-bulan sudah, Marina masih mengharapkan Ridwan kembali. Dari kereta pertama sampai yang terakhir lewat, selalu ditunggunya satu persatu penumpang yang turun. Nihil.

Gadis yang kini lusuh dengan perut membesar karena hamil lima bulan itu, tak terima pada takdir Illahi yang merenggut nyawa kekasihnya.

Hingga suatu sore yang sepi, saat kereta terakhir akan lewat, ia berjalan gontai menyambut kepala lokomotif yang bergerak cepat ke arahnya.

Udaaa … aku datang menyusulmu.

Merdeka sudah jiwa Marina. Merdeka dari rasa malu karena hamil di luar nikah. Merdeka dari kesedihan mendalam karena tak siap kehilangan.


TAMAT


Jogja, 25 Agustus 2019



Pic by: tirto.id

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.