Monday, June 8, 2020



#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_5
#NomorAbsen_349

Jumlah kata: 936
Judul: Kisah Si Bujang Kurap

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang pemuda tampan nan gagah bernama Joko Lelono. Keinginannya untuk hidup bebas dan mengembara memaksanya melepaskan diri dari kehidupan nyaman di sebuah kerajaan di tanah Jawa.

Jiwa pengelana membuatnya bersemangat untuk mencari guru yang mumpuni, demi memperdalam ilmu kanuragan yang sakti mandraguna. Hingga suatu ketika, ia bertemu dengan seorang kakek bungkuk berpakaian serba putih.

Kesaktian kakek itu membuat Joko Lelono rela turut serta berkelana, sampai akhirnya mereka sampai di tanah Sumatera.

“Joko, umurku tak lama lagi. Aku akan wariskan semua ilmuku padamu, termasuk satu ilmu yang paling bertuah. Namun, ilmu itu hanya boleh kaugunakan di saat terdesak,” ucap kakek guru pada Joko Lelono.

Pemuda itu pun menyanggupi syarat yang diucapkan sang guru, lalu mereka pergi ke suatu tempat yang sepi untuk melaksanakan proses penurunan ilmu kanuragan.

Berhari-hari Joko Lelono menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh kakek guru. Pemuda itu memang sangat berbakat. Kakek guru memperkirakan waktu yang dibutuhkan berminggu-minggu, tetapi Joko Lelono mampu menguasai ilmu-ilmu itu dalam sepuluh hari saja.

Sampailah ia pada ilmu terakhir, yang paling sakti. Kakek guru pun berpesan di antara napasnya yang kian menyempit. “Kau memang pendekar yang berbakat, Joko. Gunakanlah ilmu-ilmu yang kuturunkan padamu untuk membela kebenaran.

Ingat, satu ilmu yang terakhir kuajarkan hanya boleh kaugunakan di saat terdesak. Karena selain kau akan bertambah sakti, ilmu itu juga akan berakibat buruk padamu....”

Kakek guru tak sempat menjelaskan lebih jauh, napasnya semakin sempit. Lelaki renta itu pun mengembuskan napas terakhir di pangkuan Joko Lelono, menyisakan rasa penasaran teramat sangat dalam diri pemuda itu.
‘Hal buruk apa yang akan menimpaku bila terpaksa menggunakan ilmu satu itu?’

***

Bertahun-tahun Joko Lelono berkelana. Ia pun terus menebar kebaikan di setiap tempat yang dilalui. Dari penjahat kelas teri hingga kelas kakap berhasil dibekuknya dengan sangat mudah. Penduduk sepanjang perjalanannya pun hidup aman dan tenteram. Tak ada lagi perampok yang mengancam harta benda mereka.

Suatu hari Joko Lelono mendengar desas-desus, bahwa kerajaan Sriwijaya sedang berusaha membasmi pemberontakan. Komplotan pemberontak bekerja sama dengan kawanan penyamun yang berilmu sakti. Para petinggi kerajaan sudah mulai kewalahan.

Hingga suatu ketika, Joko Lelono berjumpa dengan kawanan pengkhianat yang sedang bersembunyi di tengah hutan. Pemuda itu dengan penuh percaya diri muncul di antara mereka dan mulai beraksi membabat habis para penjahat. Dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya, ia mampu menyisakan hanya beberapa orang kroco saja. Karena tak tega, ia pun membiarkan mereka pergi.

Namun, sungguh sayang. Beberapa orang yang diberi ampunan itu justru membuat siasat baru. Joko Lelono yang sedang lengah akhirnya dapat mereka kurung dengan mudah. Dalam keadaan tangan dan kaki terikat, mereka leluasa menyiksa pemuda itu.

Keadaan yang terdesak, membuat Joko Lelono teringat satu ilmu terakhir yang belum digunakannya. Dengan sedikit mantra, tubuh pemuda itu bergetar hebat, kulit tubuhnya berubah menjadi sekeras logam.

Joko Lelono menyentakkan tubuhnya hingga semua ikatan terlepas. Kawanan penjahat yang berada di dekatnya pun terpental dengan keping-keping logam tertancap di tubuh mereka.

Ternyata, bukan hanya Joko Lelono yang terperangah dengan kesaktiannya sendiri, tetapi juga beberapa pasang mata yang sedari tadi mengintainya dari balik pepohonan. Mereka adalah prajurit kerajaan yang ditugaskan oleh raja untuk menyelidiki persembunyian para pemberontak.

Atas keberhasilannya membasmi kawanan pemberontak, Joko Lelono pun diangkat menjadi Panglima Perang.

***

Berhari-hari setelah peristiwa itu, Joko Lelono merasakan sekujur tubuhnya gatal-gatal. Saking gatalnya, ia tak tahan untuk terus menggaruk. Semakin digaruk kulit tubuhnya justru semakin gatal. Pertama-tama hanya memerah saja, lama kelamaan muncul lapisan kasar dan berbintik-bintik menyerupai kurap.

Sudah beberapa tabib didatangkan untuk mengobati penyakit kurap Joko Lelono, tetapi tak kunjung sembuh. Akhirnya suatu malam, pemuda itu mendapat petuah dalam mimpinya.

“Itu adalah akibat yang harus kau tanggung dari ilmu itu, Joko.” Sebuah suara yang sangat dikenalnya berkata. “Tapi, kau tak perlu cemas, ada suatu masa di mana tubuhmu akan kembali seperti sediakala. Bersabarlah, Joko.”

Tak ingin menjadi beban pikiran raja dan petinggi kerajaan, Joko Lelono pun melepaskan jabatannya sebagai seorang panglima perang kerajaan. Ia memilih hidup berkelana dan kembali menjadi manusia bebas.

***

Waktu berlalu begitu cepat. Joko Lelono tetap dengan tubuhnya yang penuh kurap. Banyak orang yang mengenalinya dengan sebutan Bujang Kurap. Tak sedikit yang menghina karena selain dipenuhi lapisan kulit yang menjijikkan, tubuhnya pun menguarkan aroma busuk yang membuat siapa saja yang berpapasan dengannya akan menutup hidung bahkan meludah.

Sungguh malang nasib si Bujang Kurap. Hingga suatu ketika ia merasa lelah terus berpindah tempat. Lalu, ia pun membangun sebuah pondok di pinggiran hutan sebuah desa.

Warga desa sepertinya tak suka dengan kehadiran si Bujang Kurap. Mereka terus mencari cara agar bisa mengusir pemuda itu, yang lama kelamaan membuatnya kesal. Hingga suatu hari, ia berteriak di depan khalayak.

“Hei, warga kampung yang sombong! Aku akan angkat kaki dari tempat ini, tapi dengan satu syarat. Kalian harus bisa mencabut lidi ini!” seru Joko Lelono alias Bujang Kurap sambil menancapkan sebatang lidi di atas tanah.

Bukannya ketakutan, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Sebagian malah menghina.

“Apa susahnya mencabut lidi itu? Anak kecil saja bisa,” ucap salah seorang yang paling besar badannya.

Satu persatu orang kampung maju untuk mencabut lidi itu, tetapi mereka malah terpental. Hingga yang badannya paling besar pun menyerah karena tak sanggup melakukan hal yang ia anggap remeh tadi.

Bujang Kurap pun maju. Dengan sekali hentakan, lidi yang ditancapkannya berhasil dicabut. Namun, keanehan terjadi. Dari tanah bekas lidi itu ditarik, tiba-tiba keluar air dengan begitu deras. Muncrat ke segala arah hingga membasahi seluruh warga kampung yang berada di tempat itu.

Setelah air mulai menggenangi kaki, barulah mereka tersadar bahwa Bujang Kurap bukanlah orang sembarangan. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Air semakin tinggi menenggelamkan seluruh kampung hingga tak ada yang bersisa. Sedangkan Bujang Kurap tak diketahui keberadaannya.

Genangan air di kampung itu membentuk sebuah danau yang luas dan akhirnya diberi nama Danau Rayo.

Jogja, 5 Juni 2020

Pic by: tiket.com

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.