𝗦𝗲𝗽𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗥𝗶𝗻𝗱𝘂
Setelah anak-anak kembali sekolah, rumah yang biasanya riuh dengan suara mereka, kini mendadak lengang. Tidak ada lagi tawa kecil atau rengekan si bungsu yang memaksa kakaknya untuk mengambilkan es krim, juga suara perdebatan mereka yang memperebutkan sesuatu. Bahkan suara langkah kaki mereka yang mondar-mandir pun terasa hilang.
Awalnya aku pikir akan senang karena bisa punya waktu sendiri alias me time dan bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan lebih tenang. Tapi ternyata, yang muncul justru rasa sepi. Ada momen ketika aku berhenti sejenak dari aktivitas, memandangi sofa yang kosong—tempat di mana mereka biasa duduk bersama bermain game dan menonton TV.
Mungkin ini fase adaptasi baru juga buatku sebagai ibu. Setelah berbulan-bulan terbiasa bersama anak-anak hampir 24 jam, kini aku harus belajar mengisi kembali waktu-waktu kosong tanpa mereka.
Kadang aku mengemil sebungkus snack dan menyeruput segelas sweet laban dingin, sambil mengingat-ingat tingkah mereka pagi tadi sebelum berangkat sekolah. Betapa si bungsu cemas sendiri karena mulai hari ini akan diantar dan dijemput oleh driver yang sudah dipesan oleh ayahnya.
“Nanti diculik, Bun.” Spontan membuat kami tertawa. Sedangkan kakaknya hanya senyum-senyum saja. Reputasi negeri ini sebagai salah satu negara teraman di dunia tidak perlu diragukan lagi.
Aku sadar, kesepian ini juga bagian dari proses. Justru tanda bahwa aku sangat menyayangi mereka. Dan pada akhirnya, rasa sepi ini akan terbayar lunas setiap kali jam sekolah usai. Ketika mereka pulang dengan cerita baru yang penuh semangat, tentang teman baru, pelajaran baru, dan pengalaman yang perlahan membuat mereka tumbuh lebih mandiri.
Begitu juga aku yang nanti juga akan menemukan rutinitas baru untuk mengisi waktu. Tapi untuk sekarang, biarlah aku menikmati sejenak keheningan rumah ini, sepi yang ternyata juga bisa mengajarkan arti rindu.
Qatar, 1 September 2025