Wednesday, January 22, 2025
Tuesday, January 14, 2025
Pengalaman Operasi Ambeien dengan Laser
Friday, September 13, 2024
Kunjungan Perdana ke Sardjito Aesthetic Center
Setelah itu aku naik ke lantai empat untuk menuju ke Sardjito Aesthetic Center. Benar-benar gak ribet ya. Alurnya jelas dan nyaman, walaupun pengunjungnya sangat ramai. Alhamdulillah di klinik estetik tidak seramai di bawah. Suasananya adem dan sepi hanya beberapa pengunjung saja. Mungkin karena hari itu aku dapat jadwal pagi. Pas aku ke kasir setelah perawatan dan menjelang siang barulah mulai ramai.
Thursday, January 7, 2021
Flying Without Wings
#NAD_TemaMingguan
#NAD_CintaDiamDiam
Kisah ini hanya fiksi. Jika ada kesamaan tokoh, tempat, dan cerita,
itu hanyalah kebetulan semata.
***
Flying Without Wings
Oleh: Silvia Destriani
Lagi-lagi aku harus tertunduk di hadapan Bu Prapti, terpaksa
mendengarkan segala nasihatnya yang terdengar bagaikan dengung nyamuk. Entah
sudah ke berapa kali hingga ruang BP ini terasa begitu familier.
“Vin, ini sudah masuk caturwulan dua. Kalau tidak dari
sekarang kamu berubah, mau kapan lagi. Apa kamu rela melihat teman-temanmu
lulus duluan?” Nada suara Bu Prapti yang awalnya meledak-ledak mulai menurun.
Aku yakin, dia mulai bosan.
Setelah itu, sebuah surat berkop SMA Negeri favorit kubawa pulang
sebagai oleh-oleh. ‘Ah, sial!’
“Ibu tunggu kedatangan orang tuamu, Vin!” ucap Bu Prapti.
Aku tahu, dia kecewa. “Silakan kembali ke kelas.”
Seminggu sudah aku membolos. Kalau saja kemarin sore Rendi
tak memaksaku untuk datang hari ini, mungkin aku akan terus membolos entah
sampai kapan. “Vin, pokoknya kau bakalan nyesel kalau nggak datang. Udah
seminggu ini kelas kita diajar Bu Ayu. Alamaaak, cantik kali dia.”
Ah, secantik apa, sih? Bukannya aku tidak tahu selera Rendi,
paling-paling tidak lebih cantik dari Siska—anak IPS yang ditaksirnya.
***
Suasana kelas masih sama seperti biasanya, riuh rendah
selagi menanti guru datang. Dengan malas kumiringkan badan menempel ke tembok, perlahan
memejamkan mata.
“Vin, woy, Vin! Ssst ... bangun!” Sikutan Rendi membuatku
terkejut dan spontan berteriak.
“Apa, sih, ganggu aja!”
Satu kelas pun kompak berseru, “Huuu!”
“Sudah puas tidurnya?” Demi apa seraut wajah ayu sudah
berada beberapa jengkal di hadapanku. “Ayo, cuci muka dulu!”
Lagi, seruan “Huuu!” meluncur sempurna dari mulut-mulut
mereka. ‘Kampret!’
Hari pertama pertemuanku dengan Bu Ayu sungguh mengesankan.
Aku terpaksa menerima hukuman darinya untuk menyelesaikan sepuluh soal
matematika di depan kelas, gara-gara tertidur di jam sekolah. Tentu saja, ia
terbengong-bengong melihat kejeniusanku. ‘Ini baru permulaan, Bu.’ Kenalkan,
aku Alvino Pradipta—juara matematika tingkat provinsi.
***
Selepas pelajaran terakhir, aku kembali dipanggil ke ruang
BP. Namun, kali ini bukan hanya Bu Prapti, ada seorang lagi—bu guru baru
idolaku—Ayu Savanah.
“Ehm, maaf, Bu. Bukannya ayah saya sudah datang tadi pagi?”
Aku sedikit gugup, berpikir keras—kesalahan apalagi yang kubuat?
“Tenang, Vin, kamu nggak ada salah apa-apa. Beberapa hari
ini saya terus memantau perkembanganmu. Ini loh, Bu Ayu penasaran kamu sering
bolos, tapi kok pintar.” Ucapan Bu Prapti kontan membuatku sedikit bangga. Aku sebenarnya
bukanlah siswa bermasalah, tapi ....
“Turut bela sungkawa ya, Vin. Saya maklum kenapa kamu bisa
begitu. Tapi, percayalah, almarhumah ibumu sudah bahagia di sana dan nggak akan
suka kalau kamu terus-terusan bersedih,” ujar Bu Ayu dengan suara yang sungguh menyejukkan.
Seperti sedang haus-hausnya di tengah hari bolong, lalu minum es tebu. Ah,
segarnya.
‘Ibu ... idola saya banget.’
***
“Ayah senang kamu sudah kembali seperti dulu, Vin.” Aku tahu
lelaki ‘role model’-ku itu sekarang bisa bernapas lega. Bukan perihal mudah
setelah ditinggal istri tercinta, lalu dihadapkan dengan problematika anak
remaja yang bertingkah sepeninggal ibundanya.
“Maafin Alvin, Yah.” Aku pun berlalu setelah mencium
tangannya dengan takzim, memohon restu agar lancar menjalani ujian akhir yang
sudah di depan mata.
Kukira itu semua juga karena campur tangan Bu Ayu. Mau tidak
mau, suka tidak suka, Ayu Savanah telah memotivasiku untuk keluar dari keterpurukan.
Sifatnya yang keibuan dan penuh perhatian membuatku jatuh
hati. Aku merasa menemukan sosok ibu yang hilang. Namun, di sisi lain, aku pun
selalu berdebar berdekatan dengan perempuan cantik berusia sekitar seperempat
abad itu.
Dia adalah perempuan yang sempurna. Cantik, pintar, baik
hati ada dalam satu paket. Benar-benar proporsional untuk dijadikan ibu dari
anak-anakku kelak. ‘Ngawur kamu, Vin!’
Ayu Savanah telah mengalihkan duniaku dengan gaya
berjalannya, cara berbicaranya, saat dia tersenyum, pun saat dia kesal pada
murid yang bandel. Ah, benar-benar menggemaskan.
Betapa memesonanya dia, hingga aku berkhayal terlalu tinggi
untuk sukses lalu menjadikannya pendamping hidup.
“Woy, ngelamun aja kau! Nih, undangan dari Bu Ayu, buat kita
sekelas.” Secepat kilat aku menoleh dan menyambar secarik amplop biru muda dari
tangan Rendi. Entah mengapa, wajahku seketika terasa panas, degup jantung kian
memburu, hatiku perih.
***
Adegan yang sungguh menyesakkan. Kalau tidak karena ingin menumpahkan
kerinduan pada perempuan idaman, aku tak akan mau berdiri di sini. Menyaksikan
Ayu Savanah yang cantik berbalut kebaya modern berdampingan dengan seorang
lelaki yang tampan lagi gagah, benar-benar menyiksa.
Senyumnya terus terukir, menampakkan kebahagiaan. Aku
cemburu, berkhayal akulah yang berada di sampingnya. Tunggu saja, kupastikan posisiku
kelak akan lebih tinggi dari lelaki itu.
Hari ini juga, aku pun membuat keputusan terbesar dalam
hidupku. Tekadku sudah bulat, tak peduli guru-guru dan teman-temanku terus
meminta untuk berpikir berkali-kali.
***
“Apa sudah kau pikirkan matang-matang, Vin? Ini bukan hanya
menyangkut dirimu sendiri, tapi juga adik-adik kelasmu. Pihak universitas pasti
akan mem-blacklist sekolah kita untuk beberapa tahun ke depan,” ucap Bu Prapti,
mencoba membujukku.
Ya, aku telah merelakan PMDK yang kudapat, melepaskan
kesempatan menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Unpad—tanpa
tes, untuk hijrah ke Magelang.
“Gila kau, Vin. Pergi-pergi aja, nggak bilang-bilang. Kau
harus traktir aku kalau pulang nanti!” Rendi berteriak dari sambungan telepon.
Bahkan sahabat karibku itu tak tahu keputusanku ini adalah sebuah pelarian.
Entahlah ... aku pun tak tahu pasti. Sebuah pelarian ataukah ambisi.
Satu-satunya yang paling mendukungku hanyalah Ayah. Mungkin ia
bangga, karena aku bisa menggapai cita-citanya yang tak pernah kesampaian.
***
Setelah setahun menjalani pendidikan di Resimen Chandradimuka
Magelang, di tahun kedua aku hijrah ke Yogyakarta untuk menjadi taruna Akademi
Angkatan Udara.
Ritme pendidikan yang disiplin dan ketat, sedikit bisa
mengalihkan rasa patah hatiku dari cinta pertama. Namun, tentu saja tak
melenyapkan perasaan rinduku padanya. Perasaan yang semestinya kubuang jauh-jauh
sejak hari sakral itu, semakin hari malah semakin menjadi.
Di sela-sela waktu istirahat, aku sempatkan diri untuk menelepon
orang-orang terdekat.
“Eh, Vin, apa kabar kau? Oh ya, kapan hari kami besuk Bu
Ayu. Dia baru lahiran anak pertama, ganteng kayak bapaknya.” Dari Rendilah aku
mendapatkan sekeping demi sekeping kabar tentang Bu Ayu. Tentu saja, sambil
tertawa menutupi perih itu.
***
Lima tahun berlalu. Aku berkesempatan pulang beberapa hari
untuk menemui Ayah, sebelum menjalani pendidikan Sekolah Penerbang. Ya, aku
terpilih di antara ratusan siswa lain. Begitu bangganya Ayah, karena aku
berhasil melebihi impiannya untuk hanya sekadar menjadi seorang perwira, malahan
bakal menjadi seorang penerbang AU.
Aku pun menyempatkan diri untuk menghubungi Rendi.
Sayangnya, dia sedang di luar kota untuk melaksanakan KKN. Ah, sebenarnya aku
hanya ingin menanyakan kabar Bu Ayu padanya. Pasti dia sedang berbahagia
bersama keluarga kecilnya. Tak cukup nyaliku untuk datang berkunjung.
***
Lepas dari masa Ikatan Dinas Pendek sebagai penerbang, tahun
ini aku cukup beruntung bisa ikut dalam kegiatan pengenalan alutsista di Wing
Udara 7 Lanud Supadio—di kota kelahiranku. Betapa bangganya Ayah melihatku
dalam balutan coverall jingga berpangkat Kapten.
Di antara keramaian pengunjung, beberapa siswi SMA
mendatangiku, minta berfoto bareng dan bertanya dengan malu-malu. Mereka menyalin
setiap penjelasanku dengan saksama. Aku teringat masa-masa saat berseragam
putih abu-abu dulu, dan tentu saja ... padanya.
“Kalian dari SMA 1, ya?” tanyaku. “Sampaikan salam saya, ya,
buat Bu Ayu.” Saat itulah, dari balik kacamata hitam yang kukenakan tampak
sosok yang tidak asing lagi di antara siswa-siswi itu. Seketika detak jantungku
berkejaran, wajahku menghangat bukan karena teriknya matahari siang itu, tapi
....
“Vin? Alvin, kan?” Akhirnya aku bisa memandangi wajah itu
lagi, setelah hampir sepuluh tahun berlalu.
Kami berbincang cukup lama. Hatiku merasa perih setelah
mendengar penuturannya. Bukan karena cemburu, tetapi karena kejadian buruk yang
telah ia alami sekitar dua tahun yang lalu. Kesialan yang menyebabkan ia
kehilangan orang-orang yang dicintai.
Ingin rasanya kurengkuh tubuh mungil itu, melesapkan segala kesedihan
yang tampak jelas di sorot matanya ke dalam dadaku.
***
“Mama nggak langsung nerima Papa, kan?” Sarah bertanya
dengan antusias.
“Butuh setahun untuk mamamu berpikir, Sar. Bukanlah hal yang
mudah untuk berubah status dari guru menjadi seorang istri dari muridnya
sendiri. Walaupun Mama hanya lebih tua tujuh tahun dari Papa.” Aku menarik
napas panjang. Butuh oksigen lebih banyak untuk mengingat-ingat kembali kisah
itu.”Apalagi Mama punya trauma tersendiri.”
Ya, Ayu kehilangan keluarganya karena kecelakaan. Ketika ia mengajar,
suami dan putra kecilnya yang berada di rumah menjadi korban pesawat latih yang
jatuh di pemukiman.
“Gimana dong Papa meyakinkan Mama?” tanya gadis berparas
sama dengan cinta pertama dan terakhirku itu.
“Apa gunanya Papa jadi penerbang handal kalau tidak bisa
mendaratkan cinta dengan mulus di hati Mama?” jawabku sambil terkekeh, menutupi
luka yang belum sepenuhnya pulih.
“Ahh, co cwiiit,” seloroh gadis itu, diiringi gugurnya
beberapa bunga kamboja yang setahun ini menghiasi pusara sang bunda.
Jogja, 6 Januari 2021
Thursday, June 11, 2020
Sesuatu di Kantin Sekolah
#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_10
#NomorAbsen_349
Jumlah kata: 747
Judul: Sesuatu di Kantin Sekolah
Suasana tempat ini sudah jauh berbeda, lebih bersih dan tertata rapi. Tidak seperti zamanku dulu yang tampak kumuh dan sempit.
“Kantin ini sudah lama dirombak, Bu,” ujar seorang penjual minuman, ketika ia meletakkan segelas es cappucino di hadapanku.
Saat memesan minuman tadi, aku sedikit berbasa-basi dengannya. Betapa aku takjub dengan perkembangan fasilitas di sekolah yang pernah menjadi tempatku menuntut ilmu ini.
Selagi menyeruput seperempat gelas minuman favoritku itu, terdengar suara bel berbunyi—tanda jam istirahat tiba. Terlihat muda-mudi usia enam belas tahunan berduyun-duyun memasuki kantin. Tawa canda mereka begitu riuh, membuatku terbayang masa putih abu-abu yang seru dan menyenangkan.
Setelah memasuki kantin, mereka berpencar ke stan-stan yang menawarkan menu jajanan yang berbeda-beda. Namun, ada pemandangan menarik yang kudapati. Satu stan terlihat begitu ramai dibanding stan-stan di sebelahnya. Senikmat apakah makanan yang dijual?
Padahal ada sekitar lima stan penjual makanan di dalam area kantin sekolah ini. Dua stan penjual minuman sekaligus camilan dan tiga stan penjual makanan berupa nasi soto, nasi rames, dan bakso.
Menu yang terakhir kusebut tadi adalah alasan kenapa aku berada di tempat ini. Keponakanku yang sekolah di sini bilang kedai bakso ini selalu ramai, bahkan terkadang sebelum jam istirahat kedua sudah ludes.
“Stan yang lain sepi, Tan, kadang kasihan lihatnya. Daripada aku ngantre panjang untuk semangkuk bakso, lebih baik makan nasi rames aja deh,” cerocos keponakanku waktu itu. “Lagian, temenku bilang kalau mereka pake—.”
Tak sempat menyelesaikan kata-katanya, keponakanku yang ganteng itu langsung berlari ke belakang karena mual membayangkan apa yang diceritakan oleh temannya.
Secara kasat mata memang tidak ada yang aneh pada kedai bakso itu. Sepasang suami istri pemiliknya melayani siswa-siswi—langganan mereka dengan ramah dan cekatan.
Satu persatu pembeli menikmati semangkuk bakso itu dengan wajah puas dan penuh peluh. Saking nikmatnya, ada yang sampai menghirup kuahnya hingga tandas.
“San, sudah pesan makan? Cobain baksonya tuh, katanya enak loh ha-ha.” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Ah, Rini rupanya, kami memang janjian di sini saat istirahat kedua. Setelah ‘cipika-cipiki’ sejenak karena lama tak bersua, kami pun berbincang-bincang.
Beberapa siswa yang melewati kami menunduk hormat. Terang saja, selain kami adalah ibu-ibu, Rini menjabat sebagai wakil kepala sekolah di SMA unggulan ini.
“Rin, kamu pernah nyobain baksonya?” tanyaku sambil melirik ke arah yang kumaksud.
“Pernah bungkus, San. Begitu kusantap, nggak sampai habis, eh langsung muntah-muntah.” Rini bercerita. “Untung aja anak-anak dan suamiku belum sempat makan.”
“Ya udah, sekarang kamu bungkusin satu buatku, Rin.”
***
Kali ini, aku dan Rini kembali janjian di kantin sekolah. Namun, bukan cuma kami berdua. Pihak berwajib turut mengawal pertemuan kami. Ada apakah gerangan?
Setelah membawa sampel bakso yang dibungkuskan oleh Rini beberapa hari lalu. Aku langsung mengecek kandungannya di laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan—tempatku bekerja.
Hasil tes laboratorium membuktikan bahwa bakso yang dijual di kantin sekolahku itu mengandung boraks, yang tentu saja melanggar hukum.
Selain itu, ada fakta yang lebih mengejutkan lagi. Ternyata daging yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan bakso bukanlah daging sapi murni, melainkan oplosan. Alias campuran daging sapi dengan daging celeng. 'Malangnya kalian, Nak.’
Semua siswa dan guru-guru dibuat terkejut, ketika Kepala Sekolah ikut ditangkap bersama sepasang suami istri penjual bakso oplosan itu. Hasil penyelidikan polisi ternyata sudah lama dilakukan. Mereka dicurigai sebagai anggota komplotan penyelundup dan pemasok daging celeng ke warung-warung bakso di kota ini.
Saat penangkapan itu berlangsung, terjadi hal yang aneh. Seorang siswi menggelepar-gelepar di atas lantai kantin. Tampaknya ia kesurupan dan mengeluarkan suara seperti seorang nenek yang sedang marah.
“Cicing siah! Ulah ngaganggu dunungan aing!” teriak siswi berwajah oriental itu dengan bahasa Sunda yang fasih.
Beberapa siswa memegangi tangannya yang mulai bergerak bebas memukul ke sana kemari, hingga Pak Said—guru agama yang punya keahlian rukiyah datang membacakan ayat-ayat suci Al-Quran.
“Ai silaing nanaonan babacaan nu kitu patut di dieu, hah? Rék ngusir aing? Ngajedog siah! Aing mah moal ka mana-mana,” cerocos gadis itu dengan suara nenek-nenek. Jin di dalam tubuhnya itu ternyata pantang menyerah.
Akhirnya Pak Said menyuruh beberapa guru untuk membawa gerobak bakso dan segala perlengkapannya keluar kantin. Lalu, menyemprotnya dengan selang air disertai bacaan ayat-ayat suci Al-Quran secara beramai-ramai. Barulah tubuh siswi itu lunglai.
Setelah itu, buhul-buhul yang tertanam di sekitar kantin pun ditemukan, kemudian dibakar.
Aku tak habis pikir, hanya demi meraup keuntungan, orang-orang itu mampu menghalalkan segala cara. Berbuat curang pada sesama, hingga menggadaikan imannya. Padahal rezeki itu adalah hak prerogatif Sang Maha Kaya dan tak akan pernah tertukar.
Di antara keriuhan itu, keponakanku mendekat. “Tante, itu mungkin nenek-nenek yang dibilang temenku waktu itu. Kerjaannya ngeludahin mangkok-mangkok bakso yang mau dihidangin. Hiii ...,” bisiknya, bergidik ngeri.
***
Jogja, 10 Juni 2020
Catatan:
1. Cicing siah! Ulah ngaganggu dunungan aing! :
Diem kamu! Jangan mengganggu bos saya!
2. Ai silaing nanaonan babacaan nu kitu patut di dieu, hah? Rék ngusir aing? Ngajedog siah! Aing mah moal ka mana-mana:
Kamu ngapain baca-bacaan yang begitu di sini, hah? Mau ngusir saya? Diam kamu! saya nggak akan ke mana-mana.
Pic by: loop.co.id (improvisasi dengan canva)