CINTA YANG TERTUNDA
CINTA YANG TERTUNDA
Oleh: Silvia Destriani
Renata tak bisa memejamkan matanya malam ini. Pertemuan secara tak sengaja dengan seseorang tadi siang, seakan memantik kembali debaran aneh di dadanya saat masih berseragam putih biru.
Dialah Arya Sebastian, seseorang yang dulu dikaguminya secara diam-diam. Bintang sekolah yang selalu menyabet juara umum saat pembagian raport tiba. Idola para gadis di sekolahnya karena selain pintar juga memiliki paras yang tampan. Mana mungkin melirik seorang Renata, Si Kutu Buku yang lugu.
“Tau gak Ren alasannya kenapa aku kuliah di Kedokteran Gigi?” ucap Arya dengan wajah berbinar-binar kala itu.
“Apa?” Renata menjawab sekenanya sambil menyuapkan sesendok kuah bakso ke mulutnya.
“Kamu!” Spontan Renata terbatuk-batuk karena tak menyangka akan mendapat jawaban yang dianggapnya konyol itu.
“Pelan-pelan dong, Ren.” Arya yang khawatir dengan sigap mengambilkan air minum sambil menepuk-nepuk lembut punggung gadis itu.
“Udah … aku ga apa-apa. Makasih ya.”
Terang saja Renata terkejut akan jawaban pemuda di sampingnya. Sungguh konyol memilih jalan hidup hanya karena alasan tidak jelas, yaitu dirinya. Padahal selama di SMP dulu, mereka berdua nyaris tak pernah bertegur sapa walau belajar di kelas yang sama.
Setelah lulus dari SMP, mereka pun tidak pernah bertemu lagi. Seperti yang diketahui oleh Renata dari teman-temannya, Arya melanjutkan studi di Jogja dan kembali berkumpul dengan kedua orang tuanya. Karena selama sekolah di Bandung, Arya tinggal bersama keluarga bibinya.
“Iya Ren, aku serius. Kamu adalah inspirasi terbesarku untuk menjadi Dokter Gigi. Waktu di SMP dulu, aku suka perhatiin kamu. Cewek satu-satunya di sekolah yang pake kawat gigi. Imut banget ….”
Renata berulang kali menepuk-nepukkan telapak tangan di kedua pipinya, mencoba menutupi wajahnya yang terasa memanas. Terang saja ia malu. Sekaligus bangga dan berbunga-bunga. Ternyata rasa itu tak bertepuk sebelah tangan.
“Maaf, Ar. Aku ada kelas siang ini. Sebentar lagi azan, mau ke masjid dulu.”
“Aku juga mau zuhuran dulu, Ren. Nanti pulang jam berapa? Bareng ya.”
Keduanya pun berpisah di pelataran masjid kampus setelah bertukar nomor ponsel. Semuanya mengalir begitu saja, semakin dekat.
Renata yang biasanya pulang ke kost bersama Anna, teman sekampusnya, kini lebih sering diantar oleh Arya dengan motor sportnya.
Sebagai perantau di Kota Gudeg, kebersamaan dengan Arya tentu sangat menyenangkan. Arya yang memang penduduk asli Jogja lebih mengetahui seluk-beluk kota itu, sehingga Renata sangat terbantu jika harus bepergian ke suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya.
Seperti hari ini, Renata terpaksa harus mengambil buku kuliahnya yang dipinjamseorang teman sekelasnya yang tidak datang kuliah karena sakit.
Selama di perjalanan, Renata tak henti-hentinya mengulas senyum, tak jarang mereka tertawa lepas bersama. Ternyata Arya yang dulu dikenalnya adalah sosok yang dingin dan angkuh, ternyata anggapan itu sirna begitu saja.
“Ar, ternyata kamu itu kocak juga ya. Dulu kamu tuh sombong banget, tau?!”
“Ah, masa sih? Biasa aja kok. Justru kamu itu yang sombong. Aku jadi takut dulu mau ndeketin.”
“Aneh juga ya ….”
“Aneh apanya, Ren?”
“Iya, aneh aja. Dulu gak pernah ngobrol waktu SMP, kok sekarang bisa sama-sama gini.”
“Udah jodoh kali he-he.”
Renata pun menguatkan pegangannya di pinggang Arya, sementara Arya terus menaikkan laju motor sport merahnya. Senyum terus memgembang di kedua bibir tipis pemuda itu.
***
“Arya ….” Arya yang baru saja keluar dari kelas seketika menoleh.
“Ya, Mas. Ada apa?”
“Ini … saya mau ajak kamu ikut kegiatan di masjid.”
Mas Ragil, Ketua Kerohanian Islam (Rohis) kampus yang juga adalah kakak tingkat Arya di Kedokteran Gigi, memang seorang mahasiswa teladan.
“Ikut ya! Saya liat kayaknya kamu punya potensi. Besok habis salat Jumat, kumpul di teras samping masjid ya. Saya tunggu, loh.Assalamu'alaikum.”
“Insya Allah, Mas. Waalaikumsalam.”
Arya seperti terhipnotis dengan wajah bersih Mas Ragil, ia tak kuasa menolak.Kakak tingkatnya itu memang mempesona banyak mahasiswi di kampusnya. Selain tampan dan pintar, ia dikenal sangat religius. Arya pun sering ikut kegiatan sosial penggalangan dana korban bencana yang digawangi oleh Mas Ragil.
“Alhamdulillah, makasih loh, Ar. Saya yakin pasti kamu bakalan datang. Ayo gabung sama yang lain.” Dengan ramah Mas Ragil menyapa Arya.
“Mas, saya malu sebenarnya ikut gabung. Liat aja kostum saya beda sendiri gini.”
“Ah, ga apa. Nyantai aja. Kita sama-sama belajar, kok.”
Keesokan harinya Arya meminta Renata untuk menemaninya membeli baju koko di Mall Malioboro. Renata senang-senang saja, karena selain dia bisa bersama-sama dengan Arya. Dalam hatinya juga bangga, Arya pemuda yang taat beribadah, tak pernah tinggal salat lima waktu.
“Kamu beli baju koko kok banyak amat, Ar. Lebaran kan masih lama.”
“Dikit ini, baru tiga setel. Emang beli baju koko pas mau lebaran doang?! Ini buat kegiatan Rohis.”
“Kamu gak ikutan juga? Ada akhwat yang ngajakin kan?”
Renata terpaku, ternyata Arya lebih di depannya dalam urusan agama.
“Ada sih waktu itu kakak tingkat ngajakin Rohis,tapi aku belum sempet aja mau ikutan. Insya Allah deh lain waktu.”
Sejak itu intensitas pertemuan mereka makin berkurang. Renata merasakan perbedaan tingkah laku Arya. Sedih, tentu saja. Karena sekarang Arya lebih banyak menghabiskan waktu selepas kuliahnya di masjid kampus, bersama teman-teman Rohis.
***
Beberapa bulan kemudian …
Akhir-akhir ini Renata merasa seperti kehilangan sosok Arya. Tak seperti biasanya, saat menjelang siang mereka berdua pasti bertemu di kantin kampus. Memang jurusan yang mereka ambil berbeda, tapi masih di satu lokasi yang berdekatan. Tapi, sudah dua minggu ini Arya seperti menghindar.
Siang itu, sehabis makan siang seperti biasa Renata menuju mesjid untuk beristirahat sejenak sambil menunggu azan zuhur berkumandang. Dari pintu belakang masjid, dilihatnya beberapa orang mahasiswa duduk berkumpul di teras samping. Seperti sedang mendengarkan pengarahan dari seniornya.
Renata menyipitkan mata saat tak sengaja dilihatnya sosok Arya di tengah-tengah mereka. Dan diperhatikannya penampilan Arya juga berbeda, biasanya memakai setelan kemeja dan jeans yang casual. Tapi, saat ini … sungguh berbeda.
“Ren, kenapa kamu? Bengong gitu. Ayo salat dulu. Udah azan loh dari tadi. Tuh liat … imamnya udah datang.” Suara cempreng Anna teman sekelas Renata mengagetkannya.
Makin kaget lagi, setelah kedua mata Renata menemukan sosok Arya di saf paling depan. Ah … bukan paling depan, tapi lebih depan lagi. Ya … Arya lah imam salat zuhur siang ini.
***
Renata teringat perkataan Arya sebelum dia berubah lebih religius belakangan ini.
“Ren, kamu gak pengen pake jilbab?” tanya Arya waktu itu saat mereka berjalan meninggalkan pelataran masjid kampus.
“Hmm … belum siap, Ar.”
“Oh … ya udah ga apa. Aku doain deh kamu secepetnya pake jilbab. Pasti makin imut he-he ….”
Renata galau. Malam itu ia lagi-lagi tak bisa tidur. Merasakan Arya yang mulai menjauh karena berhijrah. Ada sedikit rasa kecewa sekaligus bangga. Di usia mudanya, pemuda itu benar-benar menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang positif. Bahkan sekarang, Arya tak pernah lagi berkunjung saat malam minggu datang. Renata rindu Arya yang dulu.
Pagi itu, sebelum masuk kelas, Anna menghampirinya.
“Eh, Ren. Ini surat dari ayangmu … tadi dia kesini sama temennya yang celana cantung-cantung gitu.”
Sebuah surat dari Arya, membuat Renata bertanya-tanya. Kenapa ia tak menyampaikan pesannya langsung? Atau lewat pesan singkat via ponsel?
“Assalamu’alaikum. Renata, mungkin belakangan ini kamu melihat ada yang berbeda denganku. Aku mohon maaf, tidak bisa bertatap langsung denganmu. Karena agama kita melarangnya. Aku menyayangimu karena Allah. Semoga kita kelak dipersatukan-Nya dalam ikatan halal yang suci. Wassalamualaikum. Arya.”
Renata merasakan bulir-bulir hangat mulai mengalir dari sudut-sudut netranya. Pedih bak disayat sembilu.Disekanya air mata yang mulai membasahi pipi. Renata menguatkan diri. Seharusnya ia bangga, lelaki itu meninggalkannya karena takut akan Tuhan.Kini, mereka berdua seperti dipisahkan oleh sesuatu, suatu batas tak kasat mata, yakni syariat.
***
Enam tahun kemudian …
Renata sekarang telah bekerja di sebuah Oil and Gas Company ternama. Otak encernya memang tak diragukan lagi, ia menghabiskan waktu tidak sampai lima tahun menyelesaikan kuliahnya. Seminggu setelah wisuda, ia mendapat panggilan kerja di perusahaan asing yang bonafit.
“Ren, dapat salam tuh dari Andre. Ciyee … ciyee ….”
“Buat kamu aja, Sal.” Renata yang sedang asyik di depan monitor menyelesaikan tugas kantor, menjawab ringan gurauan temannya.
“Yaelah … Doi sukanya sama Renata bukan sama Salma kalleee ….”
“Bilang aja, Renata udah ada yang punya he-he.”
“Beneran, Ren? Yah, banyak yang patah hati entar fans-mu.”
Salma, teman sekantor Renata ini memang seorang gadis yang periang, suka bercanda dan yang pasti rasa ingin tahunya tinggi sekali. Kalau kata anak-anak zaman now, kepo banget!
“Kenalin dong, Ren. Anak sini? Orang mana?”
“Kepo deh … ntar kalo udah waktunya aku kenalin.”
Sebenarnya Renata hanya memberi jawaban palsu pada temannya itu. Sejak ia menerima surat perpisahan dari Arya, hatinya seperti sudah terkunci untuk orang lain. Yang ada dalam pikirannya saat itu hingga kini adalah menyenangkan orang tuanya saja. Menjadi orang yang sukses agar segala perjuangan ayah ibunya membiayai kuliahnya tak sia-sia.
Suara dering gawai memecah lamunannya. Terlihat foto Ibu dari layar kecil itu.
“Halo, Assalamu'alaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam, Nak. Sudah makan?” suara Ibu terdengar bersemangat sekali.
“Baru selesai salat zuhur, Bu. Bentar lagi makannya. Ibu dan Ayah sehat?”
“Alhamdulillah, sehat semua, Nak. Kamu jaga kesehatan, makan teratur. Calon manten jangan sampai sakit.”
Spontan Renata mendelikkan mata lentiknya mendengar ucapan ibunya barusan. Calon Manten?
“Ibu ngelantur, ah. Siapa yang calon manten? Calon suami aja gak punya, Bu.”
“Udah punya. Besok kamu off, kan? Besok calonmu datang bersama orang tuanya. Ibu yakin kamu pasti suka.”
Napsu makan siang Renata sekejap hilang mendengar ucapan ibunya. Padahal dari tadi perut rampingnya sudah keroncongan minta diisi nasi. Mendadak ia serasa tidak mau off saja besok, tidak siap rasanya menemui Si Calon Suami yang diceritakan Ibu tadi. Bisa-bisanya Ibu memutuskan sesuatu yang penting dalam hidupnya tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengannya.
***
“Rena gak mau, Bu. Kenal aja belum. Gimana sih, Bu. Hiks ….”Renata tak kuasa lagi menahan tangisnya.
“Nak, Ibu mengenalmu. Sangat-sangat mengenalmu. Ibu tau maumu, Nak. Ibu yakin yang datang ini adalah calon suami idamanmu. Kalaupun nanti kau menolak, paling tidak dia sudah gentleman datang melamar.”
Renata tak kuasa menahan air mata. Bulir demi bulir hangat itu membasahi pipi hingga jatuh menetes ke jilbab panjangnya. Masih tak habis pikir, kenapa ibu dan ayahnya kompak menjodohkannya pada laki-laki tak dikenal.
“Assalamu'alaikum.”
“Waalaikumsalam. Mari masuk, Pak, Bu, Mas.”
“Renaaaaa … Renataaaa … Bu … tamunya sudah datang ini.”
Dengan digandeng ibunya, Renata berjalan menunduk ke ruang tamu. Ia tak ingin wajah kesalnya terlihat oleh tamu-tamu itu hingga membuat kedua orang tuanya kecewa.
“Renaaaa … cantiknya! Arya memang pinter milih calon istri ya, Pak?!”
Arya? Nama itu … seperti tak asing lagi baginya. Ah, mungkin hanyalah nama yang sama, sedangkan orangnya pastilah berbeda.
“Nak, jangan nunduk terus dong, ayo salaman sama Bapak Ibu.”
Mau tak mau Renata mengangkat wajahnya untuk melihat para tamu, dan …
“Assalamu'alaikum, Ren.”
Ah, wajah putih Renata seketika merona merah.
“Waalaikumsalam. Arya … kamu ….”
“Tuh kan bener kata Ibu, pasti kamu bakalan suka.”
Akhirnya Renata tahu, selama ini ternyata Arya melakukan pendekatan pada ibu dan ayahnya saat ia sedang bekerja di luar kota. Semua kisahnya bersama Arya sejak SMP dulu pun telah diceritakan oleh pemuda itu sejelas-jelasnya kepada kedua orang tuanya.
Jodoh, memang hanyalah takdir Illahi Robbi. Sejauh apapun seorang manusia berlari, serumit apapun caranya menghindar, pastilah akan bertemu juga. Seperti mudahnya seorang manusia menjentikkan jari-jemari, semudah itu pula Allah akan kembali mempertemukan dua hati yang terpisah.
T A M A T
Jogja, 11 Oktober 2018