Thursday, February 14, 2019

MENGAIS WAKTU
“Usia Muda Tak Kan Pernah Kembali”
Oleh: Silvia Destriani


“Demi Masa … Sesungguhnya manusia kerugian. Melainkan yang beriman dan beramal soleh."(Raihan)
Entah mengapa, setiap mendengar untaian lirik lagu “Demi Masa” nan syahdu dari grup nasyid Raihan terasa begitu mengolok-olok bagiku. Ya … aku tersindir. Sindiran itu benar-benar membuatku menyesal sesesal-sesalnya akan jalan hidup yang aku lalui. Aku telah lalai menata masa mudaku. Aku adalah Si Tua Bangka yang gagal.

“Mbah Pur, belum pulang?” Seorang anak muda berwajah putih bersih ini selalu ramah menyapaku.

“Belum, Mas. Sebentar lagi. Mbah mau ngumpulin botol-botol bekas di seberang dulu," jawabku dengan suara khas pria tua renta berumur delapan puluh tahunan.

“Ohya, Mbah. Ini buat Mbah Pur. Dihabiskan ya, Mbah.” Anak muda ini, hampir tiap malam aku mampir beristirahat di depan toko herbalnya, ia pun selalu memberiku bungkusan berisi makanan hangat.

“Alhamdulillah, maturnuwun Mas.” Bungkusan berisi nasi pecel ayam itu begitu harum, membuat perutku berbunyi riang karena malam ini aku memang belum makan.

Ah … pemuda ini, kebaikannya sekali lagi seperti mengolok-olok diriku. Kenapa aku tak sedermawan dia saat muda dulu. Padahal dulu hartaku banyak, melimpah-ruah hingga tak tahu lagi harus kuhabiskan untuk apa. Yang aku tahu dulu hanyalah berfoya-foya. Kulihat tokonya tidak begitu besar, tapi pemuda itu terlihat sangat bahagia. Itulah bedanya rezeki yang berkah dengan yang tidak berkah. Sedikit apa pun rezeki yang berkah, maka si empunya akan semakin bersyukur dan merasa cukup. Begitu pula sebaliknya, jika tak berkah sebanyak apa pun harta-benda tak akan pernah merasa cukup, selalu saja kekurangan. Itulah mungkin azab dari Allah padaku dulu, mataku dibutakan oleh kemewahan dan kemaksiatan, hingga tak lagi teringat untuk beribadah.

Beruntung aku bertemu dengan pemuda soleh itu. Ia begitu bersahaja, punya keluarga bahagia yang selalu mendukungnya dalam bekerja dan beribadah. Beberapa kali aku bertemu dengan istri dan dua orang anaknya yang lucu-lucu. Kehidupan yang penuh berkah. Tidak sepertiku, yang dulu telah menyia-nyiakan istri dan anak-anakku. Entah di mana mereka berada kini.

Dulu, aku telah membuat istri dan anak-anakku angkat kaki dari rumah. Lantaran tak tahan melihat kelakuan laki-laki bernama Purnomo ini telah berhianat, dengan membawa gadis muda belia nan seksi serta menjadikannya bidadari di rumah mewah nan megah itu. Hingga saat itu tiba, aku semakin tua dan sakit-sakitan. Harta bendaku hasil kerja sebagai pelaut selama bertahun-tahun, habis begitu saja untuk biaya pengobatan. Dan perempuan itu pergi karena tak siap hidup serba kekurangan. Dia mengambil satu-satunya hartaku yang tersisa, yaitu surat rumah mewah itu. Kemudian menjualnya dengan harga yang sangat murah tanpa aku tahu. Akhirnya orang yang tak kukenal datang dan mengusirku dari rumahku sendiri. Sungguh menyakitkan.

Sekarang aku hanyalah Si Tua Miskin Purnomo, yang tak punya apa-apa. Bahkan untuk sekedar makan pun, aku terkadang hanya mengharap belas kasihan orang lain. Aku tak hanya miskin harta, tapi juga ilmu agama. Setua ini aku belum bisa mengaji. Masih beruntung, Allah memberi kesempatan untukku melaksanakan solat lima waktu. Anak muda pemilik toko herbal itulah yang mengajariku. Si Baik Hati bernama Ahmad, yang dengan kesabaran dan ketulusannya membimbingku mengisi sisa-sisa usia dengan mendekatkan diri kepada Allah.

Di usia senja ini, aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk mengingat Ilahi Robbi. Tak banyak yang aku harapkan, rumah petak teramat sederhana hasil sumbangan sukarela dari orang-orang baik di sekitarku sudah lebih dari cukup. Bisa kujadikan tempat beristirahat melepas lelah dari mengumpulkan plastik-plastik bekas. Hanya memulung yang bisa kulakukan di usia serenta ini, karena pekerjaan lain mengharuskan banyak tenaga yang tak mungkin kulakukan dengan tubuh yang mulai bongkok. Mengais waktu di sisa-sisa hidupku, menjalani hidup yang berkah demi mendapatkan ridho Ilahi hingga saatnya nanti malaikat maut menjemput dan mataku terpejam untuk selamanya.

                                                                          TAMAT

Jogja, 27 September 2018

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.