SANG SURVIVOR
SANG SURVIVOR
Oleh: Silvia Destriani
“Sebuah kisah nyata dari seorang pemuda tangguh, Aldi namanya. Jika Allah sudah berkehendak, maka tiada sesuatu yang mustahil. Inilah sebuah bukti ke-Mahabesaran-Nya.”
Seperti biasanya, hari-hari kulalui dengan tak biasa. Ya … di saat pemuda lain seusiaku bersenang-senang menikmati masa mudanya, aku malah jauh dari keramaian. Di tengah laut lepas pantai inilah akumengais rezeki. Sebagai nelayan muda, seorang penjaga rompong (rumah rakit di tengah lautan untuk menangkap ikan).
Dari kecil pantang buatku menyusahkan orang tua, sebisa mungkin kutahan segala keinginan untuk merengek-rengek minta sesuatu pada mereka. Itulah mengapa aku berada di tempat ini. Di antara deburan ombak dan angin laut. Untuk bekerja dan mencari nafkah, yang kuharap sedikit banyak mampu membantu perekonomian keluarga.
Hari ini, aku ingat tanggal 14 Juli 2018. Itu artinya sekitar dua bulan lagi aku akan menginjak usia 19 tahun. Tentu saja tak ada yang istimewa. Karena aku hanyalah seorang Aldi, si nelayan.
Selama menjalankan pekerjaanku sebagai penjaga rompong, alam memaksaku untuk menjadi sosok yang kuat. Kuat secara fisik dan mental tentunya. Bagaimana tidak, tinggal selama berminggu-minggu di lepas pantai yang berjarak 125 km dari daratan.Sendirian dan hanya berteman ikan-ikan, membuatku akrab dengan kesunyian. Aku harus memasak sendiri dengan bekal bahan-bahan mentah dan bahan bakar pemberian boss rompong yang datang setiap satu minggu sekali.
Tak banyak orang tahu, setiap detik yang kujalani di tengah laut lepas ini adalah bahaya yang kapan saja bisa mengantarkan nyawa. Jika ombak sedang besar-besarnya bisa saja aku hanyut bersama rompong dan tak kembali pulang.
Kengerian itu sudah pernah aku alami beberapa kali. Tali rompong yang tertambat di dasar laut putus. Terombang-ambinglah aku, tak tentu arah. Dengan HT alat komunikasi bekal dari boss, aku bisa menghubungi teman-temanku. Akhirnya aku selamat, ditemukan oleh mereka.
Beberapa kali kejadian hanyut kualami, tak menyurutkan nyaliku untuk tetap bertahan menjadi penjaga rompong. Hingga hari ini datang, kejadian yang akan menjadi sejarah tak terlupakan dalam hidupku.
Aku merasakan rakitku menjauh, semakin menjauh ke tengah lautan lepas. Segera kuraih HT menghubungi teman-teman seperti biasa.
“Krek … krek … krek … tolong bantuannya, ganti.”
“Kresekk … kresekk … dikopi … dengan siapa … ganti … krek … krek …” Masih ada jawaban meski terdengar tidak terlalu jelas dari ujung sana.
“Di sini Aldi … Aldi … rompong menjauh … tali terlepas … tolong bantuannya … ganti … ombak besar … ganti … kresekk … kresekkk … tiiiiiiiiiiit …” Suara melengking, sepertinya terjadi gangguan sinyal. Atau mungkin posisiku berada sudah terlalu jauh dari pos pangkalan.
Aku masih mencoba bersikap tenang, berpikir pastilah segera dikirim bantuan untuk mencariku, sama seperti yang lalu-lalu. Kepalaku terasa sedikit sakit, tadi rakit ini dihantam ombak besar. Kuperkirakan tingginya melebihi satu meter. Aku sampai terhuyung di dalam rompong karena hentakan ombak tadi.
Kuambil kembali HT, mencoba memanggil-manggil kembali. Tak ada respon. Hanya terdengar kresek-kresek. Sepertinya jarak yang sudah jauh di lautan luas tidak menangkap frekuensi radio sedikit pun.
Siang berganti malam, malam berganti siang. Terasa sudah beberapa hari rakitku dihempas gelombang laut kesana-kemari. Kulihat perbekalan di dalam rompong tinggal sedikit, mungkin hanya cukup untuk dua sampai tiga hari ke depan.
Kucoba menghemat perbekalan yang ada, agar aku tak mati kelaparan saat perbekalan habis. Teringat dulu aku hanyut juga bersama rompong yang kujaga, tapi tak selama ini. Kali ini begitu lama. Berpikir akan kah aku tetap disini tanpa datang bantuan, dua hari lagi, tiga hari lagi, seminggu lagi, sebulan lagi … ah aku tak berani membayangkannya.
Aku haus, persedian air di rompong sudah habis.Air laut tak layak langsung diminum, asinnya bisa mengeringkan kerongkonganku dan membuat semakin dahaga. Dengan akal yang kupunya, aku pun berinisiatif mengurangi sedikit demi sedikit asinnya. Aku ambil air laut secukupnya, kurendamkan kaos di dalam wadah. Lalu aku teteskan sedikit demi sedikit air dari perasan kaosku ke dalam mulut. Begitulah caraku menghilangkan dehidrasi selama di terombang-ambing di lautan luas.
Sejauh mata memandang hanya lautan dengan ombak yang ganas, tanpa batas. Hanya terlihat garis horisontal dari ujung sana, di mana biasa kulihat matahari terbit. Sering kapal-kapal besar melewatiku. Tapi tak satupun yang berhenti saat aku berteriak-teriak minta pertolongan. Mungkin saja, mereka tidak mendengar atau mereka mengira rompongku kosong tak berpenghuni.
Kurasakan sesuatu yang besar bergerak di bawah rompong. Sesuatu itu berenang mengikuti. Terasa sekali gerakannya di bawah rompong. Bukan cuma satu. Mereka bergerombol. Karnivora paling ditakuti di samudera, sekawanan hiu. Ya Tuhan … apa hidupku akan berakhir di ujung gigi-gigi tajam mereka?
Aku menangis sejadi-jadinya. Nyaliku ciut. Teringat akan Ibu, Bapak, dan keluargaku yang menunggu di rumah. Pasti mereka sedang meratapi kehilanganku saat ini. Ibu pasti menangisiku setiap hari.
Di tengah kekalutan itu, ingin rasanya mengakhiri hidup. Sungguh lama aku telah terombang-ambing tak tentu arah, mungkin sudah sebulan lamanya. Badanku pun terasa seperti melayang, ringan, entah sudah berapa kilogram lenyap dari tubuhku. Mungkin saja dengan mati, penderitaanku akan berakhir.
Ternyata sampai detik ini, aku belum juga melakukannya, membunuh diriku sendiri. Mungkin masih ada setetes iman dalam hatiku. Aku tak ingin jadi manusia yang lemah. Semua yang terjadi padaku adalah takdir-Nya.
Aku bersyukur masih bisa mengingat-Nya. Kucoba berdoa dan bersenandung lagu-lagu rohani yang biasa aku lakukan saat kebaktian. Memuja-muja Yang Maha Kuasa.
Secercah harapan kurasakan hadirnya. Aku melihat sesuatu di kejauhan seperti mendekat ke arah rakitku. Basahnya pelupuk mata sedikit mengaburkan pandangan. Aku usap kedua netra, memandang dari luar rompong. Ya … kapal besar. Sebentar lagi akan melewati rompongku.
Teringat pada HT yang masih kupunya, aku hidupkan. Kucari frekuensi terdekat. Berharap dari kapal itu.
“Tolong … tolooooong … tolooooooong …” Aku berteriak melalui HT.
Karena seperti sebelum-sebelumnya teriakanku pada kapal-kapal besar secara langsung tidak pernah membuahkan hasil. Kali ini berteriak melalui HT, harapanku mereka mendengarnya.
Kapal itu terus menjauh. Semakin jauh. Hingga mengecil di pandangan. Mereka tak mengindahkan panggilanku. Aku terpekur. Tapi, aku teringat sesuatu … “Help … help … heeeeelllllpppp … “ Aku berpikir mungkin saja aku telah terlalu jauh hanyut di negeri orang, dan mereka tak mengerti bahasaku.
Kulihat kapal itu berhenti bergerak, akhirnya berbalik. Ya … kembali menuju ke arah rakitku. Semangat hidupku tiba-tiba terasa semakin membara. Aku melambai-lambaikan tanganku. Akhirnya kapal besar itu berhenti dekat sekali dengan rakit. Mereka mendekat, memberi bantuan, dilemparkan tangga yang terikat dengan tali tambang di sisi-sisinya.
Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, dari makanan berupa ikan mentah selama ini, aku menaiki tangga itu. Di tengah-tengah aku mengambil napas. Terasa lelah. Beberapa awak kapal membantuku naik. Dan … hap! Salah satu dari mereka berhasil menangkap badan lemahku. Menarikku hingga terduduk di atas dek kapal.
Mereka tergopoh-gopoh mengambilkan selimut, makanan dan minuman hangat. Serasa kekuatan baru menjalari setiap pembuluh darahku. Ya Tuhan … puji syukur pada-Mu.
Sejak kejadian luar biasa itu, aku menjadi pembicaraan seluruh dunia. Mereka memberitakan keberuntunganku yang bisa bertahan hidup selama 49 hari di tengah samudera Pasifik. Berteman ombak laut yang ganas, angin kencang lautan, dan tentunya ikan-ikan besar yang kapan saja siap memangsaku.
Di Indonesia sendiri, aku disebut-sebut sebagai Life Of Pi dari Manado. Sedikit banyak pengalamanku sama dengan tokoh Pi dalam film itu. Karena begitu takjubnya mereka akan semangat hidupku bertahan di tengah lautan luas selama hampir delapan minggu.
Bagiku ini adalah mukjizat dari Tuhan. Keinginan bertemu orang tua dan keluarga tercinta adalah kekuatan terbesarku selain doa.
Saat ini aku telah berkumpul lagi dengan kedua orang tua dan keluarga besarku. Tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Tuhan. Karena di bulan September ini sebentar lagi aku akan menginjak usia 19 tahun. Yang saat berada di lautan, tak pernah terpikir olehku akan mencapai usia itu.
“Nak, besok Ibu dan Bapak siapkan syukuran ya sekalian merayakan ulang tahunmu. Kecil-kecilan saja. Undang kerabat dan tetangga dekat.”
Ibu tahu aku tak kan pernah mau merepotkannya, tapi kisah kehilanganku yang begitu dramatis dan menguras air mata membuat kepulanganku sangatlah layak baginya untuk disyukuri.
Tepat di tanggal 30, seluruh keluargaku akan merayakan pergantian usia ini. Sebagai ungkapan rasa syukur mereka pada Yang Maha Besar.
Di siaran televisi, para pemburu berita selalu bertanya akankah aku berani melaut lagi. Aku jawab, tidak. Sudah cukup bagiku tiga kali hanyut di tengah laut. Dan kini harapan terbesarku adalah bisa melanjutkan sekolah lagi. Semoga keinginan tak muluk-muluk itu bisa secepatnya terwujud.
TAMAT
Jogja, September 2018