TERSENYUMLAH, BUNDA!
Tersenyumlah, Bunda!
Oleh: Silvia Destriani
Sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat suci Alquran dari toa masjid, menyambut kumandang azan subuh beberapa saat lagi. Hana baru saja menyelesaikan santap sahurnya di hari ketujuh bulan suci Ramadhan.
Perut yang membuncit menandakan kehamilan usia tua, tak menyurutkan niatnya untuk tetap menunaikan rukun islam yang ketiga. Anak pintar, salihah, kita puasa lagi ya, Nak. Dielus-elusnya perut yang membesar itu dengan penuh sayang.
Layaknya perempuan hamil dengan kantung kemih yang cepat terisi penuh, Hana berjalan pelan memasuki kamar kecil untuk menuntaskan hajatnya. Lalu ia akan berwudu untuk mengaji, sambil menanti datangnya azan.
Belum lama masuk, ia pun keluar lagi dengan wajah cemas.
“Kenapa, Nak?” kata Ibu menangkap kesenduan wajah sang putri.
“Bu, Hana ngeflek. Apa sudah waktunya ya?” tanya Hana ragu. Ia ingat HPL-nya masih sekitar seminggu lagi. Ada guratan kekhawatiran di wajahnya, membayangkan proses persalinan yang akan dijalani.
“Masya Allah, udah waktunya itu, Nak!” Ibu pun segera memanggil Bapak untuk meminta tolong tetangga dekat mengantar mereka ke rumah sakit ternama di kota itu, tempat di mana Hana biasa memeriksakan kandungannya.
“Yang boleh menemani satu orang saja ya, Bu. Bapak silakan menunggu di luar,” ujar perawat di pintu masuk. Hana melangkah gontai dengan menggandeng erat tangan Ibu. Ada kegelisahan yang tak dapat diungkapkannya.
Selain berat harus menjalani persalinan tanpa didampingi suami, kekhawatiran akan nasib si jabang bayi terus menghantui. Ibu mana yang tak cemas saat dihadapkan dengan kondisi kandungan yang tak biasa, berisiko fatal keguguran di awal kehamilan hingga fisik tak sempurna saat dilahirkan.
***
Lima bulan yang lalu.
Pernah mengalami keguguran di kehamilannya yang pertama, membuat Hana lebih intens memeriksakan kandungan.
Pengalaman tak mengenakkan di waktu lampau membuat Hana banyak belajar. Ia tak mau hanya mempercayakan pemeriksaan kandungannya ke satu dokter saja. Second opinion dalam sebuah diagnosis sangatlah penting baginya.
Selama empat bulan ini sudah tiga dokter yang dikunjunginya. Kali ini ia pun sudah membuat janji dengan seorang dokter perempuan, dr. Novita, SpOg, dokter keempat.
Pembawaan dokter muda yang sangat sederhana dengan perawakan kurus, berkacamata, dan rambut lurus sebahu, mulanya membuat Hana sedikit ragu. Tapi, ternyata ….
“Ini kehamilan kedua setelah keguguran dan ibu belum tes darah?” ucap dokter Novita terlihat cemas.
“Saya khawatir Ibu terinfeksi TORCH, setelah melihat dari riwayat keguguran Ibu. Kita lihat hasil tes labnya dulu, ya.” Dokter Novita menyiapkan berkas rujukan untuk mengambil sampel darah di laboratorium.
“Secepatnya kembali ke sini lagi ya, Bu, jika hasil tesnya sudah didapat. Penanganannya harus cepat, tapi enggak ada kata terlambat. Semoga kandungannya baik-baik saja.”
Saat pemeriksaan USG, dokter Novita menunjukkan janin dalam perut Hana bergerak aktif. Terlihat malaikat kecil itu sedang meremas-remas jari jemarinya. _Alhamdulillah, lengkap_. Hana sedikit lega.
Hasil tes darah menyatakan Hana terinfeksi toksoplasmosis, rubella, dan cytomegalovirus. Ambangnya masih rendah, tetapi cukup membuat dokter Novita khawatir dan memutuskan untuk merujuk Hana ke seniornya yang khusus menangani penyakit kandungan.
“Ibu, obatnya diminum rutin ya. Bulan depan saya resepkan lagi, karena konsumsinya tidak boleh terputus. Kita usaha maksimal ya. Jangan lupa ke dokter Nuswil, ini saya bikinkan surat rujukannya. Nanti ada screening pada janin, untuk memastikan panca indranya berfungsi dengan baik.”
Ucapan dokter Novita diresapi Hana pelan-pelan. Hana bersyukur bertemu dengan dokter yang begitu peduli. Saat konsultasi pun terasa nyaman dan tidak terburu-buru. Ia mantap akan terus berkonsultasi dengan dokter Novita sampai melahirkan nanti.
***
Enam bulan mengandung, baru kali ini Hana ditemani suaminya ke dokter. Sebulan ia berpikir keras untuk screening atau tidak, karena takut akan hasil yang tak memuaskan.
Ruang tunggu yang nyaman dengan pajangan beberapa kaligrafi berpigura keemasan tak membuat hati Hana tenang. Ia khawatir pada kondisi si jabang bayi. Suami dan kedua orang tuanya selalu berusaha menyemangati, tapi tetap saja ia gelisah.
“Sudah treatment obat sama dokter Novita ya. Ayo kita periksa dulu!” Dokter berpenampilan sederhana dengan wajah oriental yang teduh itu mempersiapkan peralatannya.
“Jangan kaget ya, Bu.” Sebuah alat yang mengeluarkan suara keras seperti klakson fuso diletakkan di perut Hana. Seketika terlihat si jabang bayi terlonjak kaget di layar monitor USG 4D.
Dua kali dokter Nuswil membunyikan alat itu, dua kali pula si jabang bayi terkaget-kaget. Lucu. Hana dan suaminya takjub. Senyum mereka merekah.
“Alhamdulillah, telinganya baik. Untuk matanya saya belum bisa lihat. Itu dia malu, tutup muka terus,” ucap dokter Nuswil renyah.
***
Sejak subuh sampai jam sembilan malam, tetap bertahan di bukaan dua. Hana semakin lemas karena kesakitan akibat dua kali induksi. Semangatnya untuk persalinan normal luruh. Akhirnya ia menyerah dan memilih jalan operasi.
Tepat pukul 22.22, si cantik montok berkulit bersih kemerah-merahan itu pun lahir. Penuh syukur dan haru, Hana menciuminya sebelum dibawa perawat ke kamar bayi.
TAMAT
Jogja, 17 Februari 2019