Thursday, March 28, 2019


SERPIHAN ASA
Oleh: Silvia Destriani



     “Sa, ke kantin, yok!” Suara cempreng Ira memecah lamunanku.

     “Kenapa sih Sa, aku perhatiin dari kemarin kamu ngelamun mulu.”

     Ternyata pertemananku dan Ira yang cukup lama sejak awal kegiatan ospek dulu, membuatnya tahu betul sifat asliku. Akulah Nur Asa Ramadhani, gadis yang terkenal periang dan suka bercanda.

     “Tau nih, Ra. Aku malas ke kantin. Pengen di sini aja.”

     Ingin rasanya melepas segala gundah pada sahabatku itu. Tapi, rasa malu seakan menghalangiku untuk bercerita seperti biasanya.

     “Ya udah. Aku ke kantin dulu ya, nanti kubawain gorengan kesukaan kamu. Okeh?!”

     Anggukan lembutku tanpa jawaban membuat Ira mengernyitkan dahi jenongnya. Aku tahu ia pasti penasaran dengan perubahanku dua hari ini.

     Masih terngiang di telingaku ucapan Mama dan Papa dua malam yang lewat. Benar-benar menusuk sukmaku. Aku tergugu, tak mampu berkata-kata. Hatiku seakan remuk mendengar suara lembut Mama malam itu. Hanya tangis pilu yang sanggup melukiskan betapa hancurnya aku.

     “Nak, kalau kamu ada waktu, datanglah ke alamat itu ya. Maafkan kami baru bercerita sekarang … Mama Papa sayang kamu, Asa.”

     Kurasakan rengkuhan hangat Mama dan Papa begitu erat, membuat dinginnya malam itu tak terasa lagi di sela-sela tulangku.

***
     “Sa, kayaknya bener deh di sini alamatnya. Tuh, ada warung kecil dekat mushola.”

     Ira, betapa bangganya aku pada gadis hitam manis berjilbab itu. Dia benar-benar sahabat sejatiku. Semua cerita yang kuutarakan padanya siang kemarin, tak membuatnya berubah sikap. Dia begitu bersemangat menemaniku saat ini.

     “Ra, pulang aja, yok! Aku ….”

     “Aaahh … mana Asa yang aku kenal? Kok gampang nyerah gini!”

     “Aku belum siap, Ra.”

     Sepertinya Ira melihat kaca-kaca di mataku. Sahabatku itu seakan membaca isi hatiku.

     “Ayo tarik napas dulu. Istighfar. Kamu pasti bisa, Sa.”

     “Apa harus, Ra? Aku gak siap.”

     “Sa, kamu udah sampai di sini. Ada aku, Sa. At least, hari ini kamu temuin dulu. Setelah ini, aku yakin pasti kamu bakalan lega.”

     Ira menggandeng tanganku, mengurangi rasa gugup yang mulai menjalar membentuk keringat dingin.

     “Assalamu'alaikum ….”

     “Wa'alaikumsalam. Mau beli apa, Neng?”

     “Mmm … ada tissue, Bu?”

     Seketika jantungku berdebar kencang bertatapan dengan wajah itu. Senyum lembutnya … aku seperti berkaca dengan pantulan wujud yang berbeda usia.

     “Sebentar ya, Neng. Emak ambilkan dulu.”

     Aku tak kuasa menahan bulir-bulir itu. Seketika kuhapus agar tak terlihat olehnya.

     “Neng … kenapa? Udah gede kok nangis?”

     “Oh … eh … gak … kelilipan, Bu.”

     “Panggil Emak aja. Ini tissunya, Neng.”

     “Makasih, Bu. Eh, Mak. Permisi kami pamit dulu ….”

     Setelah membayar tissu sebagai alasanku untuk bertatap muka dengannya, aku pun segera pergi meninggalkan warung kecil itu dengan langkah cepat, diikuti oleh Ira yang terlihat tolah-toleh kebingungan sambil meneriakkan namaku.
“Asa … Asaaaaa! Tunggu, Saaaa!”

***

     Di dalam warung kecil itu, seseorang terlihat sedang mengusap air mata bahagianya.

     “Emak tau, Nak. Tak perlu kau berucap. Mata itu, mata Emak. Hidung itu, hidung Emak. Senyum lembut itu, senyum Emak. Nur Asa Ramadhani. Doa-doa Emak benar-benar dikabulkan Allah. Sesuai dengan arti namamu, seberkas cahaya yang memberikan harapan di bulan Ramadhan, saat Emak menitipkanmu dulu.”

     [Walau raga tak bertemu, doa ibu ‘kan tercurah selalu, karena kasih ibu tak pernah layu]

***

Jogja, 16 Oktober 2018

#TUGAS4KPK
Gambar ilustrasi: ibnudin.net

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.