TAK SEMUDAH KATA MAAF
Tak Semudah Kata Maaf
Oleh: Silvia Destriani
Aku baru saja mematikan kompor, menyelesaikan masakanku untuk makan siang nanti, ketika terdengar suara motor berhenti di depan rumah.
Seseorang di luar sana sepertinya sedang berbincang dengan suamiku. Rasa penasaran membuat kaki ini melangkah mendekati arah suara.
“Oh, Bu Guru. Ada apa, Bu?” tanyaku dengan ekspresi sedikit kaget. Aku khawatir, pasti ada sesuatu terjadi dengan sulungku di sekolah, hingga membuat wali kelasnya tiba-tiba datang berkunjung pada saat jam pelajaran berlangsung.
“Ini lo, Bu. Mbak Rara buang air besar di kelas. Tolong dibawakan baju gantinya ya, Bu.” Wali kelas gadis kecilku itu menjelaskan dengan tergesa-gesa dari atas motor. Kulihat ada seorang anak laki-laki teman sekelas Rara yang diboncengnya.
“Ya Allah, Rara, kok bisa … Ya, Bu Guru, kami segera ke sana. Terima kasih ya, Bu,” ucapku masih serasa tak percaya. Anak sulungku itu, dari TK dulu dia selalu bilang ke gurunya jika ingin buang air di sekolah. Kenapa kali ini tidak? Ada apa denganmu, Nak?
Terang saja perasaanku campur aduk saat itu. Malu, kesal, dan juga prihatin berkolaborasi menjadi satu. Di rumah, sambil menyiapkan baju ganti untuk Rara, aku pun tak henti-hentinya bertanya-tanya pada diri sendiri juga ayahnya.
“Sudah, Bun. Ayo, cepetan! Teman-teman sekelasnya pasti udah pada kebauan tuh,” ucap suamiku sambil berganti pakaian dan menyiapkan motor.
Di perjalanan ke sekolah, perasaanku tak tenang. Kubayangkan wajah panik Rara di kelas atau mungkin dia menangis karena malu pada teman-temannya.
Kulangkahkan kaki cepat ke arah kelasnya. Tak terlihat ada yang berbeda, teman-teman Rara masih beraktivitas belajar seperti biasa. Tak satu pun dari mereka yang menampakkan sikap tak biasa. Seperti menutup hidung atau menjauhi Rara.
Kudekati sulungku yang duduk di jejeran bangku paling kiri baris kedua. Ia menoleh ke arahku, air mukanya datar. Tentu saja beberapa langkah mendekat sudah tercium aroma septic tank darinya.
“Ya Allah, Nak. Kenapa enggak bilang Bu Guru kalau sakit perut? Kan jadi repot semua,” ucapku pada Rara. “Maaf ya, teman-teman!” Aku mengedarkan pandangan ke arah teman-teman sekelasnya. Sebagian ada yang menjawab, “Iya, enggak apa-apa.” Sebagian lainnya mengangguk.
“Iya, enggak apa-apa, Bu. Mungkin Mbak Raranya tadi takut sama Bu Guru ya? He-he,” balas wali kelas Rara mencairkan suasana. Berkali-kali kuucapkan permintaan maaf padanya sebelum kugandeng Rara menuju toilet sekolah.
Ada rasa kesal sekaligus lucu saat menyirami tubuhnya dari pinggang ke bawah. Anakku yang dari kecil tak bisa kotor sedikit pun itu, yang selalu berjalan berjingkat-jingkat saat kakinya tak sengaja menginjak kotoran, kok bisa-bisanya BAB di celana.
Omelan demi omelan pun keluar dari mulutku saat membersihkan tubuh kecilnya. Ia bergeming. Seketika rasa bersalah berkecamuk dalam diri. Apa yang terjadi padanya hari ini mungkin karena kesalahanku.
***
Rara, gadis kecilku, padanyalah benih cinta pertama kami bertumbuh. Karena dialah aku dan suami menjadi orang tua. Ya, orang tua, sepasang manusia yang dimuliakan derajatnya oleh Allah. Doa dan restu merekalah sumber keberkahan seorang anak. Namun, orang tua yang bagaimana?
Pagi ini aku meradang, saat sulungku itu kutemukan belum mengerjakan PR. Semalam aku terlalu sibuk dengan adiknya, hingga tertidur saat menyusui. Ayah Rara yang tidak terlalu telaten juga lupa mengingatkan gadisnya untuk mengerjakan tugas sekolah.
“Gimana sih? PR kok sampai lupa dikerjain! Masa mau nunggu Bunda dulu baru ngerjain PR? Kerjain tuh yang bener! Masa gitu aja enggak bisa?” omelku sambil menyiapkan bekalnya ke sekolah. Ayahnya seperti biasa hanya diam saat gadis kecilnya kumarahi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.20.
Omelanku makin menjadi-jadi saat kulihat gadis kecilku itu bukannya mengerjakan PR-nya dengan benar, tetapi malah sibuk meruncingkan pensilnya. Ia tetap bergeming mendengar segala ocehanku.
Rara buru-buru berangkat ke sekolah saat ayahnya memanggil-manggil dari atas motor. Sampai-sampai ia tak sempat mencium tanganku seperti biasa.
***
“Bun, kita harus banyak-banyak minta maaf sama Rara. Sejak dia punya adik, sepertinya Bunda jadi sering marahin dia. Padahal sebenarnya dia cuma mau minta perhatian. Dia merasa kehilangan Bunda lo, yang dulu selalu ada buat dia, tapi sekarang selalu adiknya yang didulukan. Ayah juga salah,” ucap suamiku keesokan hari, penuh penyesalan.
Ternyata pagi kemarin di perjalanan ke sekolah, Rara yang biasanya mengobrol asyik dengan sang ayah jadi diam seribu bahasa. Hingga ayahnya pun bertanya, “Kok diam aja? Sedih ya dimarahin sama Bunda?” Tak ada jawaban, hanya tetesan demi tetesan air mata membasahi pipi yang menjadi jawabannya.
Hatiku pun berdesir mendengar penuturan ayah Rara. Begitu mendalam luka yang kutanam pada gadis kecilku itu. Kemarahan demi kemarahan ditelannya hanya karena mencoba untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang utuh dariku.
Kupandangi wajah polosnya yang sedang tertidur. Kuciumi dan kubisikkan, “Maafkan Bunda, Sayang.” Kulantunkan doa terbaik di antara senyumnya yang mengembang.
TAMAT
Jogja, 3 Maret 2019