Friday, May 15, 2020

Tunggu Aku Pulang, Ellisa!
Oleh: Silvia Destriani

Boston, 8 September 2001.
Udara musim panas masih menyelimuti. Cuaca terik dengan kelembapan yang cukup tinggi masih terasa di kulit, membuat Ellisa enggan keluar rumah untuk sekadar menghirup udara segar.

Ia ingin musim gugur segera datang, menikmati indahnya bunga-bunga berguguran sepanjang hari. Jalanan kota akan dipenuhi dedaunan yang mengering berwarna kecokelatan, udara tak lagi sepanas sekarang. Angin yang bertiup terasa sejuk dan bersahabat.

Aku ingin mengajak Eric jalan-jalan ke New York bulan depan, mengenalkannya pada Papa dan Mama, ucap Ellisa dalam hati. Ia begitu bersemangat, seakan tak sabar lagi menanti musim gugur sekitar dua minggu lagi.

Pemuda smart berwajah oriental asal Indonesia itu dikenalnya setahun lalu saat sama-sama menjadi mahasiswa baru di kampus jurusan komputer di University of Massachussets Boston. Pemuda itu sangat energik, pintar bergaul, periang, dan humoris.

Semangatnya yang besar untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu dan kembali ke Indonesia agar bisa mengabdikan diri membangun jaringan komputer di negaranya sungguh membuat Ellisa terpukau.

“Kau bisa bekerja di sini setelah lulus nanti, Sayang. I can't stand without you,” ujar Ellisa manja sambil menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Eric. Kenyamanan seketika menjalar di hati gadis berambut keemasan itu. Manik matanya yang biru terang tak luput memandangi wajah sang kekasih.

Senyum Eric merekah kala itu. Dibelainya rambut curly Ellisa dengan sayang. “Tenang saja. Aku akan membawamu ke negaraku. Di sana banyak tempat-tempat indah seperti surga. Bali, Lombok, Raja Ampat … kau pasti suka,” ucap Eric.

Setiap istirahat pergantian jam kuliah mereka pasti menghabiskan waktu bersama di lapangan rumput kampus yang menghijau, duduk berdua sambil menghabiskan makan siang bersama di bawah pohon Oak.

Setahun lebih bersama Eric membuat Ellisa semakin menyayanginya. Lelaki itu berbeda dengan pria-pria Amerika ataupun Eropa yang dikenalnya. Eric tipe lelaki romantis yang tak mau sembarangan menyentuh tubuhnya.

“Aku akan menyentuhmu sepuasku saat kita sudah resmi menikah, Ellisa. Bagi kami, kehormatan wanita itu di atas segalanya. Dan aku pun akan menjagamu sebagaimana perlakuanku pada kakak perempuanku dan juga ibuku.” Tak pernah sedikit pun Eric mencoba untuk menginap di apartemennya.  Padahal sebagai perempuan Amerika yang memuja kebebasan, kamarnya selalu terbuka untuk pemuda itu.

Ah, aku jadi malu. Serendah itu kah budaya yang mendarah daging di negaraku?, batin Ellisa. Malam itu Eric berpamitan padanya setelah mengantar pulang. Sebuah kecupan hangat mendarat di pipi, tak lebih.

Hal paling jauh yang dilakukannya pada gadis itu hanyalah mencium kening dan menggenggam tangannya.

***
Boston, 10 September 2001.
Malam ini Ellisa berdandan sangat cantik. Ia memakai gaun sepanjang sepuluh senti di atas lutut, berwarna merah salem dengan leher sabrina. Eric akan menjemputnya untuk candle light dinner di sebuah restoran favorit mereka.

Wajah gadis itu tak lepas mengulas senyum manisnya. Pipi yang dipoles blush on  merah jambu melengkapi make up flawless-nya. Eric tidak suka bila ia berdandan menor. “Kecantikanmu akan berkurang, Sayangku.” Ellisa tersenyum geli mengingat ucapan kekasihnya itu.

Sepuluh menit, Ellisa pun telah puas mematut tubuhnya di depan cermin. Bel pintu berbunyi. Tak sabar, ia melangkah cepat dengan sepatu high heel-nya menuju pintu. Pemuda gagah dengan jas hitam dan dalaman kemeja marun telah berdiri di depannya.

You are so beautiful, Sweetheart.” Wajah Ellisa tak ayal bersemu merah, digandengnya pemuda itu setelah mengunci pintu apartemennya. Mereka pun melangkah pergi.

***
“Kenapa kau baru bilang malam ini, Sayang?” Wajah cantik Ellisa tiba-tiba sendu.

“Hanya seminggu, Sayang. Kasihan kakakku jauh-jauh dari Indonesia jika aku tak ke sana. Ayo, senyum!” ujar Eric menenangkan Ellisa. Ia mendadak harus terbang ke California untuk menemui kakaknya yang sedang menemani suaminya perjalanan dinas di sana.

“Besok aku antar ya.” Ellisa mencoba bersabar. Ia yakin secepatnya mereka akan bertemu lagi.

***
Boston, 11 September 2001

“Aku akan pulang, Sayang. Tunggu aku ya.” Senyum manis Eric membuat Ellisa tersipu.

“Hati-hati, Sayang. Jangan lama-lama di sana. Tugas kuliahmu nanti menumpuk.” Ellisa mengingatkan kekasihnya sambil tertawa mengejek.

“Kan ada kau ha ha …,” balas Eric. Mereka pun berpelukan erat tanda perpisahan.

Ellisa tak henti melambaikan tangan sampai sosok Eric hilang tertutup penumpang lain. Bandara International Logan tampak begitu ramai. Ellisa memutuskan duduk sebentar di kursi dekat tempatnya berdiri. Ia akan memesan taxi.

Setelah asyik berbalas pesan dengan temannya. Ellisa memutuskan untuk pulang. Tiga puluh menit telah berlalu sejak pesawat United Airlines Penerbangan 11 yang membawa Eric take off.

Sekitar sepuluh langkah meninggalkan kursi tempatnya duduk tadi, sebuah suara dari speaker bandara terdengar mengumumkan berita yang terdengar aneh.

Ellisa terdiam. Ia kembali duduk dan melihat ke arah televisi raksasa yang terpasang di ruang tunggu bandara. Kerumunan orang terlihat di sana. Televisi itu menayangkan sebuah berita secara live.

Mulut gadis itu seketika menganga lebar. Ia tak percaya pada adegan yang dilihatnya di televisi. Gedung World Trade Center (WTC) terbakar di bagian puncaknya. Api mulai menjalar ke bagian bawah.

Belum habis keterkejutannya, oang-orang di sekitarnya berteriak histeris saat sebuah pesawat terlihat menabrakkan diri ke gedung kembar di sebelahnya. Bagai sebuah adegan film. Kejadian itu benar-benar terpampang nyata di depan seluruh masyarakat Amerika Serikat.

“Eriiic … Eriiic ….” Teriakan histeris Ellisa seolah tak terdengar lagi, bercampur teriakan-teriakan penuh kesedihan dari para pengantar penumpang dan keluarganya yang masih berada di sekitar bandara.

TAMAT

Slemburg, 28 April 2019

#salahpilihan
#peristiwabesardunia
#romance

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.