Tuesday, June 2, 2020




#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_2
#NomorAbsen_349

Jumlah kata: 587

Judul: Alamanda
Penulis: Silvia Destriani

Sayup terdengar sebuah langkah pelan dari arah gerbang depan. Sesosok bayangan mungil terlihat berlari kecil di antara rerimbunan batang kemboja. Sejak beberapa hari yang lalu, kehadirannya membuat tempat yang selalu sepi mencekam ini menjadi sedikit berwarna. Tentu saja, karena bocah perempuan yang sangat periang itu gemar sekali bernyanyi. Suara khas anak lima tahun yang masih cadel, acapkali membuat warga komplek pemakaman tertawa geli.

“Aku Amanda. Nenek sudah lama di sini?” sapa gadis kecil itu ramah pada seorang perempuan sepuh—warga lama kami—yang selalu terlihat murung.

“Ayo, duduk sini. Kamu kenapa bisa kemari, Amanda?” tanya si nenek pada Amanda yang celingukan melihat papan nisan yang bertuliskan sebuah nama, lengkap dengan tanggal lahir dan wafatnya.

“Ooh, nama Nenek, Nurhayati, ya?” tanya Amanda girang. Bocah periang itu langsung mengambil posisi duduk di sebelah teman barunya.

“Anak pintar. Kamu sudah bisa baca, ya?” jawab Nek Nurhayati dengan wajah semringah. Baru kali ini aku melihat senyum di wajah tua itu. Sejak bertahun-tahun lalu rerimbunan kuntumku menaungi makamnya yang dipenuhi rerumputan liar, tak sekali pun perempuan tua itu menampakkan wajah bahagia.

Aku mengenal hampir semua warga di komplek pemakaman ini, dari asal-usul, penyebab meninggal, dan juga sedikit kisah hidup mereka. Sebagian dari mereka sering menangis meratapi kematian, karena merasa belum waktunya meninggalkan kehidupan di dunia. Ada pula yang meraung-raung tak kuasa menahan pedihnya siksa kubur.

Namun, tak sedikit yang pasrah pada takdir. Mereka masih terus berharap mendapatkan limpahan berkah dan ampunan dari Sang Maha Kuasa lewat kiriman doa dari anak-anak dan sanak saudara, termasuk Nek Nurhayati.

Amanda memperhatikan gundukan tanah merah tempat tinggal barunya, lalu menoleh ke sebelahnya—di mana Nek Nurhayati sedang duduk termenung.

“Nenek betah di sini? Kenapa rumah nenek banyak semak-semaknya?” tanya Amanda polos.

“Anak-anak dan cucu-cucu Nenek sudah lupa sama Nenek, Amanda. Mereka tidak pernah datang lagi sejak bertahun-tahun lalu,” ucap Nek Nurhayati lirih. Itulah kenapa wajah perempuan tua itu selalu terlihat muram.

“Jangan sedih ya, Nek, kan ada Amanda.” Gadis kecil itu menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah keriput Nek Nurhayati, membuat beberapa kuntumku mendadak layu—ikut larut dalam suasana iba.

***

Mentari belum sempurna menampakkan wajahnya. Embun pagi pun masih betah bergelayut di ujung dedaunan dan kelopak mahkotaku. Desir angin yang membawa hawa sejuk sesekali menggoda ranting-rantingku, hingga membuat dahan-dahan muda menggeliang.

“Horeee, Mama Papa datang! Nek, Nek, ayo, lihat, itu Mama Papa Amanda,” seru bocah perempuan dengan rambut ekor kuda itu riang. Ia berlarian ke arah gerbang menyambut kedatangan kedua orang tuanya.

Perempuan cantik berkerudung hitam itu merapalkan doa bersama lelaki gagah di hadapannya, lalu menaburkan sekeranjang bunga beraneka warna di atas tanah peristirahatan Amanda.

“Amanda, Mama kangen, Nak.” Suasana berubah haru. Amanda memeluk erat tubuh yang mulai bergetar karena menangis pilu.

“Sudah, Ma, ikhlaskan. Amanda pasti sudah bahagia dan nggak akan merasakan sakit lagi,” ucap papa Amanda menenangkan.

Setelah mencabuti sedikit rumput yang mulai subur di makam Amanda, lelaki itu menoleh ke gundukan di sebelahnya—tepat di mana aku tumbuh. “Kasihan tetangga Amanda, Ma, pasti sudah lama tidak dikunjungi keluarganya.” Dengan cekatan, jemarinya mulai mencabuti rerumputan di atas makam Nek Nurhayati. Kulihat senyum mengembang di wajah perempuan tua itu.

Sebelum beranjak pergi, kedua orang tua Amanda menyiramkan sebotol air mineral di atas gundukan tanah merah putri mereka.

“Ini untuk Amanda dan teman barumu, Nak,” ucap mama Amanda, sambil memetik beberapa kuntumku. “Mama selalu senang kuning cerah bunga Alamanda, menggambarkan sifatmu yang selalu riang dan menyenangkan. Tak salah kami menamaimu Amanda, Sayang.”

“I love you, Mama, Papa. Besok ke sini lagi, ya!” teriak Amanda, sambil melambaikan tangan ke arah mobil kedua orang tuanya yang melaju pergi.

Jogja, 2 Juni 2020

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.