Monday, June 8, 2020


#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_6
#NomorAbsen_349

Jumlah kata: 973

Judul: Is That You?

Perpustakaan kampus memang tempat paling nyaman untuk menyelesaikan tugas akhir. Selain tak perlu susah payah membawa buku-buku tebal itu ke rumah, terkadang bisa sedikit cuci mata.

'Aku harus wisuda awal tahun depan, cepat dapat kerja, kalau bisa nyebrang pulau biar nggak jadi bahan bully-an terus.” Ya, mentang-mentang aku anak bungsu, seenaknya aja abang-abangku menindas.

Sebenarnya aku tahu itu semua karena mereka sayang dan gemas padaku, tetapi kalau digoda tiap hari mana tahan.

“Zi, coba lihat ini. Guanteeeng bangettt!” seru Mona—sohib kentalku selama kuliah. Aku tak menggubrisnya karena sedang asyik menulis di buku catatan. “Zi, lihat, dong ... mauuu bangettt jadi pendampingnya. Iiih ... gemezzz!”

“Apaan sih, Mon? Udah ah, jangan ganggu!” seruku tertahan. “Ssttt ....” Aku meletakkan telunjuk di bibir, memberi kode pada Mona, khawatir penjaga perpustakaan yang galak itu menegur kami karena berisik.

“Makanya, lihat bentar, dong.” Kali ini Mona berbisik sambil menyodorkan sebuah halaman majalah, di mana terpampang sebuah foto yang menunjukkan tiga orang taruna militer yang sedang berpose.

Mau tak mau aku melihat caption foto itu, “Lulusan terbaik taruna AAU....” Ada satu wajah yang rasa-rasanya kukenal. ‘Ah, masa iya dia?’ Penasaran, aku mendekatkan mata ke majalah,  kuteruskan membaca hingga terbaca sebuah nama, “En—.” Belum selesai, Mona dengan cepat menyambar majalahnya.

“Yeee, pura-pura nggak mau lihat, giliran ada yang ganteng sampai melotot gitu, Ciiin. Ha-ha. Udah ah, yuk, pulang.” Lagi-lagi, aku menjadi bahan tertawaan sahabatku sendiri. ‘Huh, nasiiib.’

***

Sesampai di rumah, Mama memanggilku.

“Eh, Zi, tadi siang ada telepon buat kamu. Dari En— , Enza eh Enzo apa ya? He-he Mama lupa. Dia tadi minta nomor WA kamu, tapi nggak Mama kasi,” ucap Mama.

“Enzo, Ma? Ngapain sih, tuh anak? Untung deh nggak Mama kasi.” Tiba-tiba aku kesal mendengar nama itu.

“Loh, kenapa? Tadi Mama bilang, kamu pulangnya sore, jadi telepon lagi aja, minta nomor WA-nya langsung ke kamu aja. Gitu, he-he.”

Belum sempat menjawab, abang keduaku berseloroh.

“Aciyeee, yang dicariin seseorang. Eh, tapi, kamu jangan GR dulu dong, Dek. Belum tentu dia secret admirer. Jangan-jangan itu Debt Collector-nya Mbak Ijah karena kamu makan di kantin belum bayar ha-ha.”

“Au ah elap!” jawabku. Kalau dibalas bisa panjang nanti, dan pastinya aku yang kalah dan makin kesal.

Aku jadi teringat masa lalu. Waktu itu aku begitu jengkel dengan seorang teman sekelas di bangku SMP. Sampai-sampai merajuk pada Mama dan Papa minta namaku diganti.

Kalau diingat-ingat, sebenarnya rada berlebihan, dan sekarang malah bikin aku geli sendiri. “Hmm, Enzo, anak pintar itu sekarang ada di mana, ya? Apa mungkin yang meneleponku dia?”

Seketika alam pikiranku melayang-layang, kembali pada masa putih biru delapan tahun yang lalu.

***

Peluit Pak Guru Olahraga sudah melengking, menandakan kami sekelas harus berbaris rapi di lapangan untuk praktik senam. Sebelum menyusun barisan, Pak Guru memanggil nama kami satu persatu. Inilah momen yang membuatku kesal.

“Enzi Pratami!” seru Pak Guru. “Enzo Pratama! Wah, kalian kembar, ya? Lah, tapi, kok, beda? Ha-ha.” Sorak-sorai bergembira teman-temanku membahana.

“Suit, suit, prikitiw, pletok-pletok!” Saling bersahutan mereka mengejek kemiripan nama kami yang bagaikan anak kembar. Hari pertama di kelas dua SMP sukses menjadi hari menyebalkan buatku. Semua gara-gara kehadiran anak baru itu.

“Zi, apa mungkin kalian itu kembar yang terpisah? Enzo dan Enzi, bisa kita museumkan ini, Gaes! Ha-ha.” 

“Sudah takdir itu, Zi, kamu dipertemukan dengan kembaranmu. Jangan sebal gitu, dong he-he.”

“Iyaaa, betul! Jangan-jangan kalian jodoh, namanya aja mirip. Aseeek!”

Mereka seperti tak punya kerjaan lain selain merundungku. ‘Aaaarrgghh!’

Sebenarnya Enzo tidak mempermasalahkan kemiripan nama kami. Dia kalem dan pendiam, malah harusnya aku bersimpati padanya yang seorang anak yatim. Kabarnya, ia pindah sekolah karena harus ikut ibunya pulang kampung sepeninggal sang ayah. Namun aku sudah keburu sebal. Apalagi saat momen pembagian rapor kala itu.

“Juara umum jatuh pada Enzi Pratami!” Aku pun maju ke lapangan dengan santai. “Ah, maaf, bukan Enzi tetapi Enzo. Enzo Pratama!”

Riuh rendah para murid dan guru mentertawakan kesialanku. Sukseslah aku jadi bahan tertawaan satu sekolahan. Rasanya wajahku sudah mau terbakar saking malunya. Walaupun akhirnya aku memang layak maju sebagai peringkat ketiga, tetapi perasaan tidak enak hati itu benar-benar membuatku ingin menangis.

Setelah pengumuman juara itu, aku langsung balik kanan, mengabaikan ucapan selamat yang sempat diucapkan Enzo padaku. Mungkin ucapan itu tulus ia berikan, tetapi aku sudah kadung kesal dan menganggapnya hanya ingin mengolok-olokku. Nyatanya, ia memang telah merebut posisi juara yang selama ini selalu bertahan di tanganku.

Sampai kelas tiga SMP, aku masih saja menyimpan kekesalan pada Enzo. Padahal sebenarnya ia selalu ingin berteman denganku. Aduh, rasanya malu sekali jika sekarang membayangkan wajahku yang selalu jutek saat berpapasan dengannya.

“Zi, ada titipan nih, buatmu,” ucap Siska—teman sebangkuku ketika hari pelepasan siswa kelas tiga. Sebuah amplop surat bertuliskan nama “Enzo”.

Setelah membaca isinya, sebuah perasaan tak biasa tiba-tiba muncul. Aku merasa kasihan sekaligus bersalah pada Enzo. Ternyata dia tidak sempat ikut acara pelepasan karena akan ikut pamannya hijrah ke Jogja.

“Makasih, ya, Sis. Dia pesan apa lagi buatku?” tanyaku pada Siska, yang terang saja memberi celah buatnya untuk menggoda.

“Assssoooy, ada yang nyesel nih kayaknya udah nggak bisa ketemu lagi uhuyy.” Spontan aku menepuk pundak teman dekatku itu. “Enzo bilang, kamu cantik, tapi sayang jutek he-he.”

Wajahku terasa hangat, ternyata dia perhatian juga padaku. Sebenarnya Enzo juga lumayan manis, tetapi terlalu pendiam. Andai saja dia lebih aktif dan agresif seperti anak-anak lain, pasti lebih menarik.

***

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Enzo. Masa itu belum seperti sekarang di mana media sosial begitu ‘booming’. Siapa pun bisa dengan gampang mengetahui kabar teman-teman lama dan tahu di mana keberadaannya. Ah, aku jadi penasaran sama sosok Enzo sekarang.

Iseng, aku berselancar di dunia maya. Lalu mengetikkan nama “Enzo Pratama” di bagian bergambar kaca pembesar pada akun medsos bersimbol biru. Nihil. Ada sedikit rasa kecewa, tetapi untuk bertanya pada Siska rasanya gengsi. Hingga sebuah ketukan pintu tiba-tiba terdengar.

“Zi, ada telepon tuh, dari Enzo!” Entah kenapa, suara Mama yang memanggilku kali ini terdengar begitu merdu.

*** 

Jogja, 6 Juni 2020

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.