Monday, June 8, 2020


#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_4
#NomorAbsen_349

Jumlah kata: 778
Judul: Jejak Masa Lalu

Sabtu pagi yang ditunggu-tunggu. Sesuai rencana, kami sekeluarga akan berlibur akhir pekan ke Solo. Anak-anak sudah bangun sejak subuh. Saking antusiasnya, mereka akan bangun lebih awal tanpa perlu komando.

“Bun, mana tas yang mau dimasukin ke bagasi? Jangan dikeluarin lagi sebelum sampai di hotel.” Mas Romi—suamiku mengingatkan.

Aku memang terkadang lupa memisahkan perlengkapan yang diperlukan selama perjalanan ke dalam tas kecil. Kalau sudah begitu, ia akan mengomel karena terpaksa membongkar tas besar yang sudah tersimpan rapi di bagasi.

Tak lama, kudengar lelakiku itu sudah menghidupkan mesin mobil. Kode buatku dan anak-anak agar segera berangkat. Perjalanan pagi memang lebih asyik ketimbangan kesiangan. Jika berangkat pagi-pagi sekali, anak-anak masih bisa menikmati segarnya udara dengan membuka kaca mobil.

Baru saja mobil kami keluar dari garasi, tiba-tiba sebuah mobil pick-up datang membawa barang-barang perlengkapan rumah tangga. Ah, pasti tetangga baru yang akan menempati rumah yang sudah lama kosong di sebelah kami.

“Wah, sudah laku, ya, rumahnya. Syukurlah, kamu nggak perlu ketakutan denger suara aneh lagi dari rumah sebelah ya, Bun. Ha-ha.” Mas Romi berseloroh.

“Belum tentu, Pa,” balasku sewot.

“Ya, udah. Ayo, kita buktikan. Sebentar, ya, Papa keluar dulu.” Dengan santai Mas Romi menepikan mobil. Ia pun keluar dan mendekati sopir mobil pick-up yang sedang parkir tepat di rumah kosong sebelah rumah kami.

Mas Romi masih mengobrol dengan sopir pick-up itu. Sepertinya memang benar barang-barang yang mereka bawa adalah kepunyaan calon tetangga baru kami.

Setelah si kernet menurunkan sendiri beberapa barang, sebuah Innova hitam keluaran terbaru terlihat parkir di belakang pick-up. Lalu, keluarlah sosok laki-laki dari balik pintu kemudi. Seketika jantungku serasa melompat meninggalkan tubuh, saking terkejutnya melihat penampakan itu.

Tak lama, seorang perempuan anggun bergamis cokelat susu keluar dari pintu mobil sebelah kiri. Spontan aku memerosotkan tubuh dan merundukkan kepala, was-was jika lelaki dan perempuan itu bisa mengenaliku. Barusan mereka mengobrol dengan Mas Romi yang menunjuk ke arah mobil kami.

Aduuuh ... bahaya ini. Please, jangan suruh aku keluar mobil, Mas, batinku, penuh harap.

“Bunda, itu siapa? Orang yang mau nempatin rumah kosong sebelah kita, ya?” Si Sulung bertanya, membuatku tambah grogi.

Untunglah, mereka tak cukup penasaran untuk berkenalan denganku. Mas Romi undur diri dengan alasan sudah kesiangan. Lalu, kami pun melanjutkan rencana menuju Solo dengan perasaanku yang sudah tak karuan.

Malam ini aku tak bisa tidur. Jalan-jalan kami berkeliling Solo sore ini pun terasa hambar. Aku tidak bisa menikmati liburan kali ini. Kenyataan bahwa mereka tetanggaku benar-benar membuat migrainku kambuh.

Aku tak mau merusak suasana, kasihan anak-anak dan Mas Romi yang sudah lama menantikan liburan ini. Pura-pura tak terjadi apa-apa memang tidak mudah, tapi harus kulakukan demi kebahagiaan mereka. Dua malam di Solo pun usai, dan kami harus kembali pulang.

***

Seminggu berlalu.

“Bun, kamu belum ketemu tetangga baru kita? Kok, tumben, biasanya kepo banget kalau ada orang baru datang di komplek ini.” Suara Mas Romi membuyarkan lamunanku.

“Ah, belum aja, Yah. Nanti-nantilah, Bunda lagi nggak semangat ngepoin orang,” jawabku, sedikit bercanda.

“Bun, Tante Tami baik, loh. Kemarin Naura dan Mas Kevin dikasi cokelat, dong.” Si bungsu berseru dengan riang. ‘Hmm, aku tiba-tiba merasa mual mendengar nama itu disebut.’

“Ya, udah. Ayo, kita berangkat!” ajak Mas Romi pada anak-anak yang telah menyelesaikan sarapannya. Bocah-bocah itu memang selalu diantar ayahnya, sedangkan aku kebagian tugas menjemput mereka.

Tak sampai setengah jam sejak kepergian suami dan anak-anakku, terdengar sebuah ketukan di pagar. Ah, aku lupa menguncinya. Suara langkah kaki tertangkap oleh panca indraku mendekati pintu depan. ‘Siapa, ya?’

Setelah menyambar jilbab panjang yang tersampir di kursi makan, aku melangkah ke arah pintu. Kuintip sedikit dari vitrace siapa yang datang. Astaga, rupanya perempuan itu. Aku tak bisa berpura-pura tidak berada di rumah, tadi aku sudah menyahutinya dengan satu kata, “Sebentar!”

Dengan terpaksa, kubuka pintu. Terpampanglah seraut wajah yang membuatku muak selama ini—Tami.

“Ya Allah, Wid, Widya!” Dia terkejut dan spontan hendak memelukku. Namun, refleks aku bergerak mundur. “Ehm, nggak nyangka kita bisa ketemu lagi, Wid. Maafkan aku, Wid.”

'Kau salah satu masa lalu yang ingin kubuang jauh-jauh, Tami.’ Bibirku terasa kelu, dadaku bergemuruh.

“Maafkan aku, Wid. Aku mohon, maafkan kami.” Lagi-lagi perempuan pengkhianat itu memohon.

“Sudahlah, Tami. Mungkin memang sudah takdir, Allah mau nunjukin kalau Farid nggak baik buatku. So, clear, kan? Aku udah ikhlaskan semua. Maaf, aku nggak bisa ngobrol lama-lama, pekerjaan rumah menunggu.” Gerak tanganku menutup pintu ternyata kalah cepat dengan Tami.

“Tunggu, Wid. Aku berharap kita bisa jadi teman baik seperti dulu lagi. Pasti akan menyenangkan. Anak-anakmu lucu, ya, Wid. Aku suka mereka.”

‘Cuih, teman macam apa yang mengkhianati sahabatnya sendiri!’

“Please, Tam, aku ....” Belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, Tami kembali berucap.

“Hidup itu kadang aneh ya, Wid. Sejak pertama melihat Kevin, kenapa aku seperti melihat pantulan wajah Farid, ya?” Widya tersenyum, tetapi bagiku itu sebuah seringai.

***

Jogja, 4 Juni 2020

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.