Tuesday, June 2, 2020





#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_1
#NomorAbsen_349

Jumlah kata: 582

Judul: Tamu Istimewa
Penulis: Silvia Destriani

Aku merasa sangat beruntung, tak perlu menjadi bagian dari manusia-manusia di luar sana yang terus berkeluh kesah karena wabah korona. Walaupun kedai es krim milik majikanku ini tidak seramai tiga bulan lalu, paling tidak, aku masih mendapat jatah makan tiga kali sehari. Itu pun masih ditambah bonus susu sisa dari bahan baku es krim. 'Ah, nikmatnya.’

Terkadang, aku kasihan pada teman-temanku di luar sana yang harus rajin mengorek makanan sisa dari tong sampah hanya untuk mendapatkan tulang belulang. Jika beruntung, mereka bisa mendapatkan daging dalam seonggok burger basi, meski harus melewati pertarungan yang sengit.

“Susssiii ... Susssiii! Ayo, makan dulu.” Suara merdu Mbak Rima memanggilku. Seperti biasa ia meletakkan tempat makan berisi menu salmon dan seafood favoritku di dekat meja kasir.

Sambil melayani beberapa pembeli yang datang, Mbak Rima biasanya mengajakku berbincang. Namun, kali ini aku melihat raut wajahnya sedikit berbeda. Ia sepertinya sedang memperhatikan sesuatu yang menarik di pojok ruangan. Sambil mengunyah, aku melempar pandangan ke arah sana.

Seorang lelaki dan perempuan makan es krim stroberi berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk. “Aku tak bisa begini terus,” ujar si lelaki, mengeluh.

Telinga panjangku yang mampu menangkap sinyal frekuensi tinggi, tentu saja mampu mendengar apa yang sedang mereka bicarakan dengan sangat jelas.

Aku juga sering ikut menangis, saat Mbak Rima merapal doa dalam hati ketika bertafakur di atas sajadah. Betapa ia sangat merindukan kedua orang tuanya yang tak pernah ia jumpai. Perempuan anggun itu memang selalu tampak ceria bila berada di tengah keramaian, tetapi sebenarnya ia merasa kesepian.

Sepasang mata indah Mbak Rima masih terpaku menatap sepasang tamunya itu. Sesekali ia menunduk jika salah satu dari mereka menoleh ke arahnya. Mereka tampak tidak muda lagi, mungkin berusia di atas lima puluh tahun, tetapi dengan penampilan sangat modis. Walaupun begitu, garis wajah mereka masih menyisakan ketampanan dan kecantikan masa muda.

“Siapa mereka, ya? Kenapa aku selalu berdebar saat mereka datang kemari?” ucap Mbak Rima lirih.

Ah, aku baru ingat, kedua orang itu sudah seminggu ini terus berkunjung kesini. Beberapa kali mereka membawakanku sebungkus whiskas, bahkan royal canin yang harganya lumayan mahal. Aroma tubuh mereka pun sudah tak asing di hidungku.

“Ini semua salahmu. Kalau saja dulu kau tidak meninggalkanku begitu saja, kita pasti sudah hidup bahagia bersama,” ucap si perempuan sambil menatap lekat lawan bicaranya.

Aku berjalan mendekat setelah menghabiskan semangkuk makanan. Perempuan paruh baya itu meraih tubuh gempalku dan meletakkanku dalam pangkuannya. ‘Hmm, hangat dan wangi.’ Aku suka aroma tubuhnya. Sambil mengelus-elus tubuhku, ia meneruskan kata-katanya.

“Jadi, sekarang apa yang mau kau lakukan? Apa kau kira mengaku padanya akan menyelesaikan masalah. Aku yakin, putriku itu sudah terlalu lama hidup menderita karena keegoisan kita.”

“Maafkan aku, Hana. Aku tidak mau melakukan kesalahan lagi dengan terus berlari dari tanggung jawab. Tolong, maafkan aku. Aku masih mencintaimu, Hana, juga ... putri kita,” ucap lelaki paruh baya itu. Suaranya terdengar bergetar.

“Tidak segampang itu, Alex. Aku ...,” ucap perempuan bernama Hana ini terputus, ketika tiba-tiba Mbak Rima mendekat.

“Maaf, Bu, Pak, Susssiiii, nggak boleh bandel, ya.” Mbak Rima tersenyum ramah sambil meraihku ke dalam gendongannya. Mereka berdua membalas senyum majikanku itu dan menatapnya dengan raut wajah yang sulit diungkapkan.

Masih kudengar kedua orang itu bertutur pelan, sesaat setelah Mbak Rima masuk ke dalam toilet.

“Aku tak sabar ingin memeluknya, Hana. Lihatlah, betapa dia sangat mirip denganmu,” ucap lelaki bernama Alex itu dengan wajah yang berbinar-binar.

Seandainya aku bisa menyampaikan pada Mbak Rima, apa yang telah kudengar.

“Meooong ...!” seruku panjang, mengendus-endus kaki mulus Mbak Rima. Sayangnya, hanya satu kata itu yang bisa keluar dari mulutku.

Jogja, 1 Juni 2020

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.