Tegar Meraih Cita
Tegar Meraih Cita
Oleh: Silvia Destriani
Terbalut kaos lusuh yang menutupi tubuhnya dan celana pendek warna merah yang belum diganti sepulang sekolah, bocah kecil berperawakan kurus itu masih berlomba dengan waktu untuk mendulang rezeki.
Sinar sang surya yang semakin teduh dan berwarna kemerahan di ufuk barat tak merisaukan sedikit pun hatinya. Malah membuatnya semakin bersemangat mengejar pundi-pundi. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk ibu dan adik-adik yang ia sayangi.
Kakinya dengan lincah bergerak ke sana kemari di antara roda empat dan roda dua yang bersiap melaju di belakang garis start lampu merah yang siap berganti hijau.
“Dik, sini. Berapa?” tanya seorang laki-laki berpenampilan rapi dari balik kaca jendela mobilnya yang terbuka separuh.
“Dua ribu, Om,” jawab bocah laki-laki itu dengan wajah berbinar-binar.
“Ambil saja kembaliannya,” laki-laki berwajah bersih itu pun berkata sambil tersenyum simpul.
Bocah itu berkali-kali mengucapkan terima kasih dan segera menepi di trotoar jalan, karena lampu merah telah berganti hijau.
Terdengar azan magrib berkumandang dari kejauhan. Bocah penjual koran itu pun segera melangkahkan kakinya menuju masjid terdekat. Sesampainya di rumah Allah, ia segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tas punggungnya, kain bercorak kotak-kotak yang warnanya sudah mulai pudar.
Setelah berwudu, bocah laki-laki itu segera bergabung di saf salat. Di mana tidak ada bedanya antara si kaya dan si miskin. Semua berniat satu, menyembah Sang Maha Pencipta.
“Dik, kamu yang jual koran di lampu merah tadi, kan?” Bocah itu segera menoleh ke arah kanan, terlihat lagi olehnya seorang laki-laki berwajah bersih itu.
“Eh, iya, Om,” jawab bocah itu sambil membuka resleting tas punggungnya dan meletakkan sarung yang dipakainya salat tadi.
“Kamu sering salat di sini, Anak Saleh?” Lagi-lagi laki-laki itu tersenyum sambil memasang tali sepatunya.
“Biasanya di masjid dekat rumah, Om. Sekalian pulang. Tapi, hari ini kesorean sudah keduluan azan.”
“Namamu siapa, Nak?” Si Wajah Bersih itu kembali bertanya.
“Tegar, Om. Tegar Eka Wibowo,” jawab Tegar penuh semangat.
“Wah, bagus namanya. Pantas buat kamu. Kecil-kecil sudah tegar mencari nafkah. Om duluan ya, Tegar.” Laki-laki itu pun berlalu tanpa Tegar sempat menanyakan namanya.
Tegar kagum pada laki-laki yang berwajah bersih itu. Ia pun teringat akan ayahnya.
Andai saja Bapak sebaik Om itu, bisiknya dalam hati.
Teringat akan ayahnya membuat perasaannya campur aduk antara benci dan rindu. Hal yang tidak dapat diterimanya hingga detik ini. Mengapa Bapak tega meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Sejak kelas satu Sekolah Dasar, Tegar sudah tidak pernah lagi bertemu ayahnya. Dulu ayahnya pergi meninggalkan mereka dengan alasan ekonomi, mencari nafkah di negeri seberang sebagai seorang Tenaga Kerja Indonesia.
Satu tahun, dua tahun, hingga tahun ke lima, Bapak tak jua menunjukkan batang hidungnya. Bahkan berkirim surat pun tak pernah. Tegar yang saat itu masih terlalu kecil dengan dua orang adik perempuannya sangatlah terpukul. Menahan kerinduan akan hadirnya ayah mereka.
Ibunya tak kalah gundah gulana, menanti sang belahan jiwa tak kunjung pulang. Sehingga harus berjuang sendiri mengais rezeki demi kelangsungan hidupnya dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Segala macam pekerjaan berat ibunya lalui, dari mencuci pakaian dan menyetrika dari rumah ke rumah, menjadi asisten rumah tangga di beberapa rumah majikan yang berbeda-beda, hingga menjajakan kue ke pasar.
Tegar tersentak dari lamunannya, ia harus segera pulang. Teringat akan ibunya yang pasti sudah menunggunya di rumah. Dengan sandal jepitnya yang sudah hampir putus termakan jalanan kota, Tegar melangkahkan kaki meninggalkan pelataran masjid.
Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu. Benda berwarna coklat tua tergeletak di dekat parkiran mobil. Setelah menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat tak ada orang di sekitarnya, Tegar pun meraih benda coklat tua yang berbahan kulit itu. Dibukanya dan dilihatnya satu persatu isinya … Tegar pun terpana.
Wah, ini pasti dompetnya orang kaya. Uang dan kartu-kartunya banyak, Tegar membatin.
Bocah itu pun berpikir keras, harus dibawanya pulang atau kah diberikannya kepada pengurus masjid. Tapi, dari tadi masjid sepi. Tadi ia keluar terakhir bersama Om Wajah Bersih itu.
Akhirnya Tegar memutuskan memasukkan dompet yang ditemukannya itu ke dalam tas punggung. Lalu ia melangkah pulang.
“Nak, kok baru pulang? Jangan pulang malam-malam. Sebelum magrib sudah harus di rumah seperti biasa,” ibunya menegur dengan perasaan cemas.
Hampir setiap hari, Bu Maryam, ibu Tegar memang selalu menunggu anak sulungnya itu di depan pintu rumah mereka yang sangat sederhana. Rumah peninggalan almarhum kakek Tegar. Sebagian atapnya sudah lapuk dimakan usia, cat temboknya pun banyak yang sudah terkelupas, serta lantai semen yang sebagian sudah retak.
Jika melihat keadaan rumahnya itu, Tegar selalu berkhayal suatu saat ingin membahagiakan ibunya dengan membangun sebuah rumah idaman.
“Terlambat dikit kok, Bu. Tadi Tegar salat magrib dulu di jalan. Adik-adik mana, Bu?” Dilihatnya tak ada suara riuh dua orang adik perempuannya.
“Ada di kamar, lagi belajar.”
Walaupun kehidupan mereka serba kekurangan, tak menyurutkan niat Bu Maryam untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya. Baginya, nasib anak-anak harus jauh lebih baik darinya. Minimal bisa lulus SMA sehingga bisa mencari kerja yang cukup layak dan tak perlu menjalani profesi kuli cuci atau setrika seperti dirinya.
“Bu, adik-adik sudah makan?” tanya Tegar sambil membuka tudung saji di meja dapur.
Seperti biasanya, ia akan mengalah makan sedikit saja bila adik-adiknya belum makan.
“Habiskan saja semuanya, Nak. Alhamdulillah tadi Ibu dapat jatah nasi kotak dari acara syukuran majikan ibu. Kami sudah makan.”
Tak menunggu waktu lama, setelah mencuci tangan, Tegar pun segera melahap nasi dan lauk-pauk itu yang baginya adalah sangat istimewa.
***
“Ibuuuuu! Ibu kenapa, Bu?” teriak Tegar sepulang sekolah mendapati ibunya tergeletak di dalam dapur.
Segera dipindahkannya tubuh Sang Bunda sekuat tenaga ke atas kasur. Lalu mencari bantuan tetangga. Hingga akhirnya ibunya bisa mendapatkan pertolongan.
“Maaf, Dik. Adik tidak boleh masuk. Tunggu di luar ya,” seorang perawat Puskesmas berkata dengan ramah, lalu ia masuk ke ruang perawatan di mana Bu Maryam dibaringkan.
Tegar sendirian menunggui ibunya. Badannya gemetar, karena sepulang sekolah tadi dia belum sempat makan. Di badannya pun masih melekat seragam sekolah, karena tadi buru-buru ikut mengantar ibunya.
Tiba-tiba Tegar teringat sesuatu. Segera dirogohnya bagian dalam tas punggungnya yang selalu dibawanya ke mana-mana.
Dengan tangan gemetar, dibukanya dompet coklat tua yang sudah tersimpan sejak beberapa hari lalu dalam tasnya.
Pasti si pemilik dompet ini sekarang sedang kesusahan karena kehilangan barang berharga miliknya, pikir Tegar.
Diambilnya selembar kartu di dalam dompet itu. Kartu Tanda Penduduk atas nama Said Hasan Albaihaqi. Tegar mengernyitkan dahinya. Melihat lebih dekat lagi foto yang terpampang di kartu itu. Hingga tersungging senyum penuh arti di wajahnya.
Tegar memberanikan diri meminjam telepon di meja perawat, ia akan menghubungi pemilik dompet itu. Beruntung sekali ada kartu nama di dalamnya.
“Tegar!” Tegar spontan menoleh ke arah sumber suara.
“Alhamdulillah, ternyata selama ini dompet Om ada di kamu ya?” Si pemilik suara menambahkan.
“Eh, iya. Om, maaf kalau baru sekarang Tegar ngabarin. Coba dicek dulu, Om,” ucap Tegar.
“Sudah, semua lengkap. Terima kasih banyak ya, Anak Saleh,” ujar laki-laki itu sambil menepuk-nepuk pelan pundak Tegar.
***
“Pak, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak. Saya enggak tau kapan bisa membalasnya,” ucap Bu Maryam penuh haru.
Pak Said yang dompetnya ditemukan oleh Tegar, telah membiayainya berobat hingga sembuh di rumah sakit besar berfasilitas lengkap.
“Enggak perlu dibalas, Bu. Itu semua rezeki dari Allah. Saya hanya menyalurkannya saja,” kata Pak Said, Si Om Wajah Bersih, dengan penuh bijaksana.
“Dari pertama kali saya bertemu Tegar, anak ibu itu sudah membuat saya jatuh hati. Kalau diizinkan, bolehkah saya mengangkatnya menjadi anak saya? Akan saya biayai sekolahnya sampai Perguruan Tinggi.”
Niat baik Pak Said diterima oleh Bu Maryam dengan sukacita dan air mata penuh haru.
***
Tujuh belas tahun kemudian.
“Mas, kapan Ibu dan adik-adik dibawa pindah ke rumah ini? Terlalu besar hanya untuk kita berdua,” ucap seorang perempuan muda cantik, menyandarkan kepalanya di pundak sang suami.
“Mas sudah menawarkan ke Ibu, Sayang. Adik-adik sudah setuju. Tapi kayaknya Ibu masih berat meninggalkan rumah peninggalan kakek.”
“Ah, Mas Tegar kurang rayuannya. Besok kita ke rumah Ibu ya. Biar Cita yang membujuk,” ucap perempuan muda yang cantik itu, istri dari Tegar.
Ya, Tegar yang dulunya seorang bocah kecil berbadan kurus itu. Kini telah bertransformasi menjadi seorang laki-laki dewasa dan juga mapan, seorang arsitek muda yang sukses.
Berkat ketekunannya bekerja di kantor milik Pak Said, Tegar akhirnya dipercaya untuk ikut mengelola salah satu perusahaan properti terbesar di kotanya. Hingga Pak said pun mengikhlaskan anaknya, Cita, untuk diperistri oleh Tegar.
Takdir telah membawa kehidupan Tegar dan keluarganya menjadi jauh lebih baik, bahkan tak pernah terbayangkan sedikit pun. Semua karena doa, usaha dan campur tangan-Nya, Sang Maha Kuasa.
***
Jogja, 26 Oktober 2018