The Amazing Rin
The Amazing Rin
Oleh: Silvia Destriani
Masih di depan layar monitor raksasa, Andrew ternganga. Pemandangan di depan matanya saat ini begitu mengagumkan.
Belum hilang ketakjubannya pada sosok di depan mata, ia pun dibuat terperangah dengan suara merdu dari makhluk memesona hasil kreativitas tanpa batas Profesor Rudolf dan timnya.
***
Planet Bumi, 2350.
Sepasang kornea mata kecokelatan Andrew memandangi hiruk pikuk di luar sana dari balik kaca jendela tebal sebuah kondominium. Terlihat kebosanan yang sangat dari wajahnya.
Kemajuan teknologi yang dahsyat di abad ke-23, dengan segala kemudahan virtual yang ada di depan mata tak membuat pemuda berusia delapan belas tahun itu puas.
Sudah banyak ilmuwan jenius yang begitu lihai menciptakan penemuan-penemuan baru untuk memudahkan penduduk bumi dalam beraktivitas. Tetapi, bagi Andrew semua itu masih kurang. Seperti ada yang mengganjal di hatinya.
“Nak, kira-kira apa lagi yang harus Ayah ciptakan? Kendaraan berkecepatan jet dengan gaya sentrifugal sudah hilir mudik beterbangan di luar sana. Hanya perlu waktu sekian menit untuk pergi ke suatu tempat yang jauh. Sistem sekolah dan kantor virtual sudah sukses berjalan, hingga semua bisa dengan mudah dilakukan di rumah saja. Ibumu pun tak perlu lelah mengurus rumah, semua sudah dikerjakan oleh robot-robot yang cekatan,” ujar Profesor Rudolf, ayah Andrew.
“Berdiam diri di rumah saja benar-benar membosankan, Yah. Aku butuh teman. Enggak asik banget, Yah, ngobrol sama teman-teman hanya lewat layar.” Andrew menarik napas panjang. Kecanggihan teknologi yang diciptakan ayahnya dan ilmuwan lain menyisakan ruang kosong di hatinya.
“Keadaan di luar sana memang tidak memungkinkan lagi, Nak. Kita tidak bisa sebebas nenek moyang kita berabad-abad yang lalu. Mereka bisa dengan bebas menikmati udara pagi dan memandangi birunya langit tanpa alat keamanan apapun,” jawab Profesor Rudolf.
Ya, keadaan bumi sekarang sungguh memprihatinkan. Langit berwarna jingga karena atmosfer telah lama terkikis oleh efek rumah kaca yang berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Suhu di bumi meroket tajam, menyengat kulit.
Sejauh mata memandang hanya terlihat gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi ke angkasa. Pepohonan nan hijau sudah tinggal kenangan. Bumi tak lagi seindah dulu dengan udara segar di pagi hari.
Sekarang, birunya langit hanya tinggal sejarah. Dapat dibayangkan, betapa panasnya saat siang hari. Hingga penduduk bumi abad ini tak bebas lagi beraktivitas di luar rumah. Mereka terpaksa berdiam diri di dalam rumah dengan segala fasilitas mutakhir yang super canggih. Tetapi, semua itu tentu saja menjemukan.
“Andrew, besok ikut Ayah ke _workshop_. Ayah akan tunjukkan penemuan terbaru Ayah padamu. Kau boleh ikut melengkapi sistemnya bila menurutmu kurang oke. Sekarang tidurlah, sudah larut malam.” Perkataan Profesor Rudolf dirasa biasa bagi Andrew. Ia melengos.
Pemuda berambut keemasan itu memalingkan pandangan ke luar jendela, langit malam seperti siang hari dengan lampu-lampu berjuta volt yang begitu terang benderang.
Penemuan yang dimaksud ayahnya paling hanya berupa games virtual terbaru yang memungkinkannya untuk bermain perang-perangan secara nyata. Mungkin juga hewan peliharaan lucu hasil rekayasa genetika, atau malah kendaraan tipe terbaru dengan kecepatan cahaya. _Ah, semuanya membosankan_, keluh Andrew dalam hati.
Kemajuan peradaban di bumi yang luar biasa di abad ini sungguh menakjubkan, manusia tak lagi dihantui penyakit-penyakit kronis yang menyiksa tubuh. _Hi-Tech Chip_ yang ditanam di setiap organ penting memungkinkan tubuh melakukan penyembuhan sendiri. Sedikit pusing saja, maka alat canggih sebesar biji sawi itu akan mengubah molekul-molekul yang sakit menjadi sehat kembali.
Sungguh kemajuan tanpa batas yang mengesampingkan Tuhan, membuat diri mereka semakin jumawa di muka bumi. Agama pun tak menjadi pilihan lagi untuk mengobati kehampaan dalam hati. Mereka menuhankan kecanggihan teknologi.
***
“Hey, Andrew! Kenapa kau diam saja, Nak? Menakjubkan, bukan?” Suara berat Profesor Rudolf menyadarkan Andrew dari ketakjubannya.
“Perkenalkan, Nak, ini Rin … manusia virtual sekaligus robot tercantik di abad ini. Lihatlah! Kau bisa mengubah-ubah wajah dan bentuk tubuhnya sesuai yang kau mau, Andrew. Ayah yakin kau tak akan bosan lagi. Tubuh mulusnya pun bisa kau sentuh sesukamu, bukan hanya tipuan mata, Nak. Ha-ha ….” Andrew bergeming.
“Hallo, Tuan Andrew. Aku Rin. Aku akan melakukan apapun yang kau mau. Kau bisa menjadikanku asistenmu, teman ngobrolmu, bahkan kekasihmu jika berkenan.” Sosok robot berbahan sintesis yang begitu halus seperti manusia sesungguhnya, berjalan berlenggak-lenggok mendekati Andrew. Benar-benar sempurna.
“Ayah sudah mendesain dan menyetel Rin secanggih mungkin, Andrew. Sebulan lagi, penemuan Ayah ini akan dipasarkan dengan target para lelaki kesepian. Mereka yang begitu sibuk dan butuh penyaluran biologis, tapi tak ingin terikat, pasti akan menyukainya. Setiap Rin akan diset _custome_ sesuai permintaan pemiliknya. Jadi, Rin-mu dan Rin-Rin yang lain tak akan sama.”
***
Jogja, 27 Maret 2019