Friday, November 1, 2019

Misteri Janda Cantik
Oleh: Silvia Destriani


Part 12 (Lanjutan dari KBM)
Kelambu Pengantin




Bulan Suro telah berlalu, digantikan datangnya bulan Sapar. Sebenarnya, aku ingin sekali segera melamar Tari dan melangsungkan pernikahan, tetapi sadar maupun tidak kepercayaan akan bulan baik dan hari baik masih melekat dalam budaya kami.

Lagi pula, aku belum menunjukkan apa yang aku punya pada keluarga besarnya. Paling tidak, saat menemui ayahnya nanti, penampilanku harus jauh lebih berwibawa dan meyakinkan.

Aku akan mempersiapkan semuanya dengan matang dalam dua bulan ini. Walaupun sangat mudah mengambil hati Pak Kades yang terkenal mata duitan itu.

Sepulang dari pertapaan di malam keramat lalu, aku dikagetkan dengan setumpuk uang dan emas di dalam lemari pakaian.

Sayangnya, saat pertama menginjakkan kaki di rumah joglo peninggalan Mbah Kakung itu, aku sudah tak melihat lagi batang hidung Kang Sapar.

Ke mana sepupuku itu?

Dia menghilang tanpa kabar. Padahal aku ingin sekali membagi sedikit yang kudapat padanya. Paling tidak, sebagai orang yang berjasa dalam hidupku, Kang Sapar layak menerima bagian.

Dengan kekayaan yang kudapat dari Dewi Ronggah, aku mulai membangun lagi usaha perkayuan yang sudah hampir pailit. Berbekal bahan baku yang melimpah dan beberapa orang tenaga kerja yang terampil, aku yakin usahaku akan berkembang pesat.

Sejujurnya, bisa saja aku langsung membeli barang-barang mewah seperti mobil baru dan rumah yang besar beserta isinya. Namun, aku harus menahan diri untuk menghindari kecurigaan warga.

Jika mereka melihat kekayaanku yang datang tiba-tiba, bisa-bisa aku akan menjadi bahan perbincangan orang-orang sekampung. Langkahku untuk menyunting Tari bisa jadi akan terhambat.

***

Selepas dari workshop untuk mengecek segala keperluan produksi, aku melajukan mobil pick-up menuju salah satu toko kerajinan kayu di kota. Orang bilang, toko itu yang paling ramai pengunjung.

Aku penasaran kira-kira apa yang membuatnya begitu menarik pembeli. Tentu saja karena aku ingin membangun beberapa toko juga untuk memamerkan produk-produk mebel dan kerajinan tangan hasil produksi bengkelku sendiri.

Kuparkirkan roda empat di parkiran ujung jalan. Lalu, menyusuri jalanan kota. Dari kejauhan terlihat toko yang akan kukunjungi sudah didatangi beberapa pembeli, padahal suasana masih pagi.

Saat memasuki pelatarannya, tampak seperti toko-toko lain, tetapi setelah aku melangkahkan kaki lebih dalam, mulai terasa keanehan yang mungkin tak akan diketahui oleh manusia biasa.

Ya, setelah pertapaan dan persetubuhan dengan Dewi Ronggah, aku jadi bisa melihat hal-hal tak kasat mata. Apalagi berbekal batu zamrud yang kini bercokol di jari manis tangan kananku, serasa ada kekuatan gaib yang membuatku lebih percaya diri dan digdaya.

Di atas lemari kayu jati yang terletak di sisi toko sebelah kiri, seorang nenek berambut putih awut-awutan dengan wajah tak beraturan sedang berbaring santai. Sepasang matanya menatap tajam ke arahku. Pakaian nenek itu berupa kebaya dan kain batik yang lusuh dan compang-camping.

Sesekali dia meludah ke lantai toko. Sungguh menjijikkan. Aku menyentuh dagu, sengaja membiarkannya melihat cincin zamrud di jemariku. Tentu saja, dia langsung ketakutan dan membuang muka.

“Ada yang bisa dibantu, Pak?” seorang pramuniaga menegurku dengan ramah.

Terlihat biasa saja, tetapi saat dia berbalik … nyatalah seorang bocah kecil tanpa pakaian sedang nangkring di bagian belakang tubuhnya.

Aku tahu lelaki itu pasti merasa berat di bagian tengkuk, berkali-kali ia mengusap leher dan punggungnya. Si empunya toko ini yang pasti telah menjadikannya tumpangan jin cilik itu tanpa ia ketahui.

“Saya mau lihat-lihat dulu, Mas. Mau cari souvenir buat keluarga,” ucapku berbasa-basi.

“Oh, silakan, Pak.” Dia berucap pelan.

Ingin rasanya kusentil telinga panjang bocah jin usil yang menjulur-julurkan lidahnya ke arahku, tetapi tingkah lucunya membuatku ingin tertawa.

Dia terus menunggangi lelaki penjaga toko dengan menarik-narik kerah bajunya seperti sedang menaiki seekor kuda.

Toko kerajinan kayu ini cukup luas. Di bagian belakang sepertinya rumah tempat tinggal si pemilik. Aku mencium aroma ikan goreng dari arah sana.

Saat hendak berbalik ke arah depan, sesosok bayangan putih terpantul dari cermin yang menempel di salah satu lemari koleksi toko. Aku arahkan pandangan ke pojok ruangan, seorang perempuan berambut panjang nyaris menyentuh lantai sedang berdiri tegak dengan kepala menunduk.

Hmm … banyak sekali jin pesugihan yang menunggui toko ini. Pantas saja pengunjungnya selalu ramai.

Lihat saja! Aku pastikan jin-jin itu akan menjadi penjaga toko-tokoku nanti.

Ilmu yang didapat oleh pemilik toko ini untuk memakmurkan tokonya tak mungkin bisa mengalahkan Dewi Ronggah dan Ki Onggo Sewu.
Tunggu saja! Kau akan segera bangkrut ha ha. Rasanya tak sabar menanti saat-saat itu.

***

Memasuki bulan Jumadil Akir, bengkel kayu milikku telah menghasilkan banyak produk. Tiga buah ruko yang kubeli di tempat yang berbeda pun telah siap untuk diisi. Di sanalah nanti mebel dan kerajinan tangan produksiku akan dipamerkan dan meraup banyak keuntungan.

Aku juga telah merekrut beberapa pekerja perempuan yang muda dan cantik untuk menarik pembeli sebagai tenaga pramuniaga, selain beberapa orang tenaga lelaki sebagai tukang angkut barang.

Hmm … Tari, tunggu aku datang. Bulan ini akan menjadi bulan madu kita. Aku tak tahan lagi ingin segera mempersuntingnya.

***

Dengan harta yang kumiliki, keluargaku di kampung ini seakan semakin mendekat. Mereka semringah ketika kubagikan uang yang tak sedikit. Aku ingin saudara-saudaraku itu menjadi pendampingku saat melamar Tari esok hari.

“Tenang saja, Sas. Kami akan siapkan arak-arakan yang pasti meriah. Pak Kades pasti akan menerima lamaranmu he he,” ucap salah seorang sepupuku yang selama ini tak sedikit pun menunjukkan batang hidungnya selama aku tinggal bersama Kang Sapar.

Uang memang bisa merubah segalanya. Mereka yang dulu sangat cuek pada kondisiku yang memprihatinkan, kini berbondong-bondong ambil bagian, sok perhatian dengan mengharap pamrih tentunya.

“Ater-atermu biar bulek yang menyiapkan bersama yang lain. Kamu tinggal duduk manis saja, Le,” kata salah seorang sepupu mendiang ibu.

Aku ingat, dia dulu bahkan tak mau memandang wajahku saat aku dan Kang Sapar hendak meminjam uang.

Ya, terserah apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini. Yang penting semua akan berjalan lancar dengan uang. Itu tak menjadi masalah bagiku.

***

Minggu kedua bulan Jumadil Akir, Desa Tegaldlimo, Banyuwangi.

Hari mulai gelap, tetapi suasana di kediaman Pak Kades tampak riuh. Tak lain dan tak bukan karena kehadiran rombongan keluargaku yang hendak melamar Tari. Dengan percaya diri, aku haturkan maksud dan tujuan berkunjung ke rumah ini.

“Ehm, saya Sasongko, sudah sejak lama menaruh hati pada putri bapak--Dik Lestari. Jika diizinkan, saya ingin memintanya untuk menjadi pendamping saya.”

Aku tahu Pak Kades mengernyitkan dahinya karena sedang berpikir apa modalku untuk menikahi Tari.

“Saya sebagai orang tua hanya menyetujui saja, tetapi semua keputusan ada di tangan Tari. Ngomong-ngomong … apa yang sudah Nak Sasongko siapkan untuk membahagiakan Tari? Saya nggak mau anak saya yang biasa hidup enak kesusahan,” ucap Pak Kades tanpa basa-basi.

“Sudah saya siapkan semuanya, Pak. Rumah, kendaraan, ruko, perhiasan, dan … apapun yang diinginkan Dik Tari. Semua biaya pernikahan, mau hiburan tujuh hari tujuh malam pun saya siap. Saya akan berikan yang terbaik untuk istri saya dan keluarganya.”

Pak Kades manggut-manggut, senyumnya semakin lebar kala aku menyerahkan sebuah kotak kecil berisi perhiasan emas sebagai bukti bahwa kata-kataku dapat dipercaya.

“Baiklah, saya sebagai ayah menerima lamaran Nak Sasongko, tapi … kita perlu menghadirkan Tari di sini dan mendengar jawabannya langsung. Saya nggak mau dipandang sebagai ayah yang memaksakan kehendak. Panggilkan Tari, Bu,” perintahnya pada sang istri yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.

Sesaat kemudian, Tari dengan didampingi ibunya keluar dari kamar. Ia terlihat semakin menggemaskan dengan wajah menunduk malu-malu dan rona pipi kemerahan. Setelan atasan krem dan rok panjang warna senada bermotif bunga-bunga kecil membuatnya semakin anggun. Sungguh pas dengan kulitnya yang kuning langsat dan tubuh langsing semampai.

“Duduklah, Nak. Mungkin kamu sudah mendengar pembicaraan kami sejak tadi. Apakah kamu setuju dengan lamaran Nak Sasongko, Tari?” tanya Pak Kades. Sepertinya ia yakin, putri cantiknya itu tak akan menolak.

“Ehm, Tari … Tari manut saja apa kata Bapak dan Ibu,” ucap Lestari pelan.

Aku tak tahu, ia menerimaku karena memang suka ataukah karena sudah pasrah karena sudah berumur tiga puluh tahunan belum juga mendapat jodoh. Apalagi adik-adiknya telah melangkahinya menikah.

“Ya, sudah. Jadi tidak ada masalah, ya. Ehm, Nak Sasongko, kira-kira kapan akan melaksanakan pernikahan?” tanya Pak Kades lagi.

“Kalau saya manut pada keluarga Bapak saja.” Aku mencoba menyerahkan keputusan pada Pak Kades.

“Menurut saya lebih cepat lebih baik, mengingat bulan Jumadil Akir ini adalah bulan yang baik untuk melakukan hajatan, lebih-lebih untuk menikah. Bagaimana kalau Sabtu depan saja? Kebetulan saya juga sudah mengenal baik keluarga Nak Sasongko. Rasanya tidak ada alasan lagi buat menunda-nunda.” Pak Kades berucap dengan penuh wibawa. Pantas saja dia dipercaya warga untuk memimpin selama dua periode.

“Baik, Pak. Saya setuju. Mulai besok, saya akan siapkan semuanya. Saya pastikan keluarga Bapak tidak akan kerepotan,” ucapku mengakhiri pertemuan dengan keluarga Tari.

***

Setelah pertunjukan wayang dan Tari Gandrung selama kurang lebih tujuh hari tujuh malam, akhirnya malam ini aku bisa memiliki Tari seutuhnya. Istriku ini memang kecantikannya paripurna.

Pantas saja dia menjadi kembang desa ini, walaupun para pemuda itu hanya sebatas mengagumi tanpa berani mendekati. Aku merasa sangat beruntung mendapatkannya. Ia gadis yang polos, tak pernah terjamah oleh tangan lelaki.

Malam ini pun, ia masih malu-malu kala kudekati.

“Mas, bolehkah Tari minta waktu sebentar. Tari … belum siap.” Begitulah yang dia ucapkan.

Ia terlihat tegang dengan wajah terus menunduk dan kedua tangan terus menggenggam.

Sikapnya itu justru membuatku semakin gemas dan geregetan. Aku malah semakin terpancing untuk menggodanya. Pakaian pengantin pun belum ia lepas. Mungkin ia bingung harus melepaskan pakaian di depanku.

“Dik, rileks saja, jangan takut. Mas akan perlakukan kamu dengan lembut, Sayang. Kita saling mengenal dulu saja, ngobrol-ngobrol … ya, anggaplah Mas ini teman dekatmu.”

Aku melangkah ke arahnya, lalu menggandeng tangannya. Hingga kami pun duduk berdekatan di sisi ranjang.

Ia masih takut-takut. Namun, aku mencoba membuatnya lebih santai dengan perlahan melepaskan hiasan di kepalanya. Sedikit demi sedikit kusisiri rambutnya yang hitam lebat bergelombang.

Hmm … wangi.

Aroma rambut dan tubuhnya yang telah diluluri sungguh menggoda, seolah merayu-rayu hasrat kelaki-lakianku untuk segera disalurkan.

Perlahan kusentuh dagunya yang lancip, lalu memalingkan wajahnya agar menatapku. Sebuah tahi lalat bertengger manis di tepi bibir bawahnya. Ingin sekali kukecup bibir mungil kemerahan itu. Benar-benar menggoda.

“Apa kamu tidak gerah, Dik? Bagaimana kalau kita mandi dulu? Badan Mas rasanya lengket sekali.”
Dia tak menjawab, malah menggigit bibir bawahnya sambil membuang pandangan dan menunduk.

“Apa Dik Tari mau duluan mandi? Atau kita mandi bareng saja?” Aku mengerlingkan mata ke arahnya yang lagi-lagi tersenyum malu-malu.

“Ehm, Mas duluan saja mandi. Tari belakangan. Nggak enak kalau barengan. Masih ada adik-adik di luar.” Ucapannya benar-benar polos, membuatku ingin tertawa mendengarnya.

Ya, kami memang harus menahan diri selama tinggal di kediaman orang tua Tari.

“Baiklah, terserah kamu saja.” Aku pun berlalu setelah kami saling menatap sesaat.

***

Aroma sabun mandi dan lulur kuning dari tubuh Tari menguar ke seantero kamar. Setelah mandi ia memasuki kamar kami dengan memakai dress panjang. Rambutnya tergerai begitu indah.

Istriku ini terlihat segan untuk mendekat. Tanda gadis perawan yang tak pernah tersentuh, begitu malu-malu dan jauh dari agresif.

“Kemarilah, Sayang,” ucapku sambil menepuk-nepuk kasur di sisi sebelah kiriku.

Rasanya malam ini kami akan menghabiskan malam panjang bersama. Aku sudah tak sabar menyusuri setiap jengkal tubuhnya dan merasakan hangatnya permukaan kulit yang bersatu.

Tari melangkah ragu-ragu.

“Mas mau minum dulu?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar, tampak benar ia grogi.

“Nggak, Sayang. Mas nggak haus. Ayo, sini.” Tak tahan, aku beringsut mendekatinya.

Sekarang jemarinya ada dalam genggamanku, terasa sangat dingin. Entah karena ia baru saja selesai mandi atau karena canggung menghadapi malam istimewa kami.

Aku menghidupkan kipas angin setelah merebahkan tubuhnya di atas ranjang berkelambu. Kami tak ingin terganggu oleh gigitan nyamuk dan merasa kegerahan saat kenikmatan demi kenikmatan itu direguk.

Sedikit sentuhanku membuat Tari terlonjak. Kurasakan rambut-rambut halus di permukaan lengannya berdiri. Dengan lembut kupijati pundaknya hingga ia merasa rileks dan aku pun lebih leluasa melancarkan aksi berikutnya.

Kurapatkan tubuhnya dalam pelukan. Lalu, aku mulai membelai rambutnya. Kusibakkan mahkota indah di kepalanya itu sambil mendaratkan kecupan hangat di belakang lehernya. Ia terdiam. Mungkin saja sedang merasakan desiran-desiran halus di sekujur tubuhnya.

Ia mulai mengeluarkan desahan tertahan saat jemariku mulai menyentuh area sensitifnya. Istriku ini mulai pasrah dan seakan menginginkan sesuatu yang lebih dengan membiarkanku mulai membuka satu persatu kancing dressnya.

Luruh sudah helai demi helai pakaian yang menutupi tubuh. Rasa malu membuat Tari sigap menarik selimut untuk menutupi tubuh polos kami.

Saat suara rintih tertahan semakin teratur mengiringi nafsu yang kian menggelora, aku menyadari kehadiran sosok itu.

Sosok perempuan siluman penuh gairah yang benar-benar membuatku dimabuk kepayang di malam keramat itu. Ia telah menuntaskan rasa sepiku sebelum menikahi Tari, dan kini tengah berada di antara kami.

Dewi Ronggah tersenyum padaku dari wujudnya yang serupa asap putih. Terlihat seperti bayangan, tetapi tentu saja sangat jelas di mataku.

Tatapannya yang tajam seakan mengingatkanku pada perjanjian kami kala itu. Ya, dia akan selalu hadir di malam-malam indahku bersama Tari.

Istriku itu masih memejamkan mata merasakan setiap sentuhan, tentu saja ia tak menyadari kehadiran Dewi Ronggah yang perlahan mulai menguasai tubuhnya. Asap putih itu lambat-laun berkumpul di atas kepala Tari dan memasuki tubuhnya melalui hidung.

Satu hentakan dari tubuh Tari diikuti dengan sepasang mata bulatnya yang seketika mendelik memandangku, mengisyaratkan bahwa dia bukanlah dirinya lagi.

“Mari kita habiskan malam ini, Sasongko hihihihihi.”

Kehadiran ratu siluman yang telah menyatu dengan Tari itu seakan melengkapi malam pengantinku bersamanya. Ranjang berkerangka besi yang menjadi saksi bisu pergulatan kami berderit-derit memecah kesunyian.

***

Purwoharjo, 1988.

Minggu-minggu pertama kehamilannya, Tari terlihat kepayahan. Mungkin karena bawaan si jabang bayi, hingga ia terus merasa mual di pagi hari atau mungkin karena lebih ingin dimanja. Apa pun alasannya, yang pasti itu membuatku bahagia.

Kini masa-masa sulit itu telah terlewati. Tari terlihat lebih segar dan siap menghadapi kehadiran tangis si kecil di rumah baru kami ini. Jika semuanya sesuai perkiraan, maka ia akan melahirkan sekitar dua minggu lagi. Perutnya sudah sangat besar. Itu sering membuatnya sedikit tersengal-sengal saat berjalan.

“Mas, nanti anak kita perempuan atau laki-laki, ya?” tanyanya dengan senyum merekah malam itu.

“Ehm, Mas nggak tau, Dik. Mau perempuan atau lelaki yang penting sehat.” Aku berucap sambil mengelus-elus perutnya yang membuncit.

“Kata orang-orang, bentuk perutku melebar. Mereka bilang sepertinya perempuan. Ada-ada aja, ya.” Dia tersenyum lagi sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Udah, tidur, yuk. Jangan cape-cape. Kasihan itu si genduk kalau diajak begadang hehe,” ujarku sambil meletakkan bantal di sisi kanan perut Tari, agar ia leluasa berbaring sedikit miring menghadapku.

***

Malam ini, Tari merintih kesakitan di bagian perutnya. Aku berpikir ia akan segera melahirkan. Peluh bercucuran di dahinya. Tubuhnya dingin karena menahan sakit yang tak tertahankan.

“Sabar, ya, Sayang. Mas akan membawamu ke bidan,” ujarku sambil memapahnya turun dari ranjang menuju ke dalam mobil.
Baru beberapa langkah keluar dari kamar, tiba-tiba lampu mati. Sepertinya saklarnya putus atau mungkin pemadaman bergilir.

Sontak Tari menjadi cemas dan sedikit takut dengan suasana gelap yang ada.
Tak biasanya, sekitar rumah juga amat gelap.

Mungkin karena malam ini bertepatan dengan bulan mati, di mana posisi bulan; matahari; dan bumi berada di satu garis lurus. Seluruh permukaan bulan yang disinari matahari berada di bagian belakang bulan dan bagian yang tidak disinari terlihat dari bumi.

“Aduuuh, Maaas …,” rintih Tari.

“Sabar, Sayang.”

Aku mencoba menghidupkan korek yang ada di kantong sebagai penerangan. Sedangkan pembantu kami sibuk menyalakan lilin.

“Cepeeet, Mas, sakiiit …,” keluhnya lagi.

***

Akhirnya kami sampai di kediaman bidan yang biasa Tari datangi untuk pemeriksaan rutin. Rumah sakit lumayan jauh, sehingga jasa bidan desa sangat membantu.

“Sudah bukaan delapan, ya, Mbak Tari. Kita siap-siap, ya. Nanti lakukan sesuai instruksi saya tadi. Jangan sekali-kali mengangkat pinggul dan jangan memejamkan mata saat mengejan, ya.”

Suara bu bidan terdengar sangat jelas. Hingga saat itu tiba ….

Awalnya semua normal tanpa masalah apa pun. Tetapi, sebuah keanehan terjadi ketika bayi mungil kami telah berhasil hadir ke dunia.

Bu bidan yang tengah mengeluarkan sisa-sisa kotoran dari persalinan dikejutkan dengan keluarnya binatang melata dari jalan lahir Tari.

Seekor lipan sebesar telunjuk orang dewasa berjalan cepat keluar dari area kewanitaan Tari. Entah dari mana asalnya. Spontan membuat bu bidan terlonjak kaget dan berteriak.

“Astagfirullah … apa itu?” teriak Bu Bidan, refleks meloncat naik ke atas kursi yang ada di pojok ruangan.

Sedangkan Tari sama kagetnya denganku. Ia terlihat kebingungan dan cemas dengan apa yang terjadi sambil memeluk erat tubuh bayi perempuan kami yang cantik.

Lipan yang berjalan cepat itu menuju ke sela-sela antara pintu dan lantai, mencari jalan keluar. Berbarengan dengan itu, sebuah hembusan angin tipis terasa di telingaku.

Sebuah suara yang sangat kukenal berbisik amat pelan. Ia mengatakan sesuatu yang membuatku terhenyak.

Apa maksudmu, Dewi?

Pikiran warasku tak akan bisa menerima apa yang dia katakan.

“Terimalah kenyataan ini, Sasongko. Dia ….”

***

NOTE:

Plz jangan minta buru-buru next ya, Gaes.

Just enjoy the show and santuuuuyyy ❤😃👍

Plz komen yg smart, jangan mem-bully. Mari saling menghargai.

Luv u all ❤💘








Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.