Friday, May 15, 2020

Saksi Bisu
Oleh: Silvia Destriani

“Semalam kau ke mana saja?” tanya Bapak pada Ardi yang terang saja membuatku tersentak. Rumah ini selalu tenang, nyaris tak pernah ada keributan sejak anak-anak mulai beranjak remaja.

Kulihat Ardi yang baru saja keluar dari kamarnya masih bergeming, tetapi tampak ketidaksukaan dari raut wajah pemuda itu.

“Ayo, jawab! Sudah pintar kau melawan Bapak?” bentak Bapak lagi, dengan rahang yang mulai mengeras dan wajah memerah.

Dua perempuan yang sejak tadi terdiam di balik meja makan pun serta-merta menghentikan makan siang mereka. Bahkan, salah seorang yang lebih tua bergerak cepat mendekati suaminya ketika menyadari suasana yang sudah tidak kondusif.

“Apa perlu Ardi jawab, Pak? Sepertinya nggak begitu penting buat Bapak,” ucap pemuda berumur tujuh belas tahun itu lantang. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan senyum sinis, lalu membuang muka.

“Kurang ajar!” Emosi Bapak sudah tak tertahan. Hampir saja telapak tangannya hinggap di wajah Ardi, kalau Ibu tak segera mencegah.

“Jangan, Pak!” teriak Ibu tak terima. “Kenapa jadi begini?” Suara Ibu terdengar bergetar, mengiringi tangis yang mulai pecah. 

Rani yang sejak tadi hanya terdiam, beringsut mendekati Ibu. Lalu memapahnya duduk di dekatku. Suasana tegang yang diciptakan dua laki-laki yang ia sayangi membuat gadis dua puluh tahunan itu terlihat gugup.

Andai saja bisa, ingin sekali aku turun tangan mendamaikan keluarga ini. Sebagai simbol keharmonisan mereka, aku merasa bertanggung jawab untuk menjaga ketenangan rumah. Tiba-tiba Ardi memecah keheningan.

“Sebaiknya Bapak yang memberi penjelasan ke mana semalam, bukan Ardi. Ibu berhak tahu, Pak,” ucap pemuda yang kini tingginya telah menyamai Bapak.

Ibu spontan menoleh. Wajahnya tampak penuh tanda tanya. Sama halnya dengan Bapak. Air muka lelaki itu seketika berubah. Rasa gugup tak bisa ia sembunyikan.

“Maksudmu apa? Jangan kurang ajar kau!” hardik Bapak, berusaha menutupi kegugupannya. Ia menoleh pada Ibu, seperti ingin meyakinkan tidak ada sesuatu yang perlu to dikhawatirkan.

Terang saja, Ibu penasaran. Perempuan setengah abad itu mengusap kasar wajahnya yang lengket karena air mata, lalu mendekati Ardi.

“Sudahlah, Pak. Ardi sudah tahu semuanya. Sekarang Bapak jelaskan pada Ibu. Ada urusan apa malam-malam berduaan dengan Tante Rika?” Ardi tersenyum sinis. “Jangan terus-terusan membohongi Ibu!”

*** 

Sejak kejadian menegangkan kemarin, Ibu terus diam. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Dia terus duduk di dekatku. Rani yang membujuknya pun tak dihiraukan. Sesekali ia berdiri, berbalik dan menatapku penuh arti. 

Sangat disayangkan, Bapak malah pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan. Sepertinya lelaki itu terlanjur malu karena ketahuan tak mampu menjaga kesetiaan pada Ibu. Entahlah … kapan ia akan pulang dan mengakui kesalahan.

Ardi, bocah ingusan yang telah beranjak remaja itu kini terlihat lebih dewasa. Sebagai lelaki sejati, ia merasa terpanggil untuk melindungi Ibu.

“Sudahlah, Bu. Nggak usah dipikirin lagi laki-laki pengkhianat itu. Masih ada Ardi dan Kak Rani yang sayang sama Ibu,” ucap pemuda itu, memandangi ibunya dengan tatapan sendu.

Ibu menepis belaian Ardi, lalu menatapnya tajam.

“Sejak kapan kau menyembunyikan semua ini, Nak?” tanya Ibu, mulai berkaca-kaca.

“Ehm, sejak … sejak Bapak sering pamit dinas malam, Bu. Ardi dan Kak Rani sudah lama curiga, lalu kami beberapa kali menguntitnya,” jawab Ardi. “Maafkan kami, Bu.”

“Ibu benar-benar nggak menyangka, Bapak tega melakukan itu. Apa salah Ibu? Sebagai istri, Ibu merasa sudah memenuhi semua kewajiban dengan baik. Tapi …,” ucap Ibu di antara tangisnya yang semakin deras.

Ardi dan Rani memeluk Ibu, memberi kekuatan. Aku tak sanggup melihat pemandangan memilukan itu. Sudah belasan tahun bersama mereka, tak sekali pun terjadi huru-hara di rumah ini.

Ah, andai saja perselingkuhan itu tak pernah terjadi, betapa beruntungnya aku. Bisa terus mengabadikan kebahagiaan mereka, walaupun harus terpenjara di balik sebuah pigura.

*** 

Jogja, 21 Maret 2020


Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.