Thursday, June 4, 2020


#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_3
#NomorAbsen_349

Jumlah kata: 985
Judul: Prahara Kembang Desa

“Andai aku menjadi anak orang kaya sepertimu, Gas, semua pasti akan lebih mudah,” ucap seorang gadis ayu berambut kepang dua, menghela napas panjang. Sepasang mata indahnya memandang jauh ke depan, di mana terhampar luas undakan sawah yang mulai menguning.

“Apa enaknya jadi anak orang kaya, Ndhis? Kau lihat saja aku. Semuanya serba diatur, harus begini begitu. Aku nggak bisa mengatur hidupku sendiri. Apa enaknya coba?” Pemuda berambut ikal kecokelatan itu mendengkus, sebal pada kenyataan bahwa dirinya adalah putra semata wayang dari seorang tuan tanah, sekaligus pewaris tunggal dari perkebunan dan peternakan terbesar di daerahnya.

Bagas Samudera, nama pemuda berperawakan jangkung itu. Wajahnya yang terbilang rupawan menjadi buah bibir banyak gadis, bukan hanya di desanya tetapi juga di desa-desa tetangga. Kekayaan keluarga yang turun temurun dari kakek buyutnya dulu membuat hidupnya serba tercukupi sejak kecil.

Sedangkan gadis sederhana bermata bulat di sebelahnya adalah Gendhis Hartanti—putri sulung dari seorang buruh tani—yang menggantungkan hidup pada keluarga Bagas. Sejak kecil dara manis itu akrab dengan kepelikan hidup. Jika tak mampu membeli beras, ia akan membantu ibunya mencari singkong di ladang-ladang bekas panen. Kemudian kaki mulusnya akan berkubang di dalam lumpur sawah untuk mencari tutut—sejenis siput yang hidup nyaman di antara batang-batang padi.

Setiap pulang sekolah, mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol hingga menjelang sore. Bagas memang periang, sedikit pun tak pernah merasa payah. Pemuda itu juga sangat enggan membahas perbedaan kasta di antara mereka. Itulah yang membuat Gendhis selalu nyaman dekat dengannya.

***

Sebulan kemudian.

Persiapan ujian nasional membuat pertemuan Bagas dan Gendhis semakin intens. Kemampuan akademis Bagas yang pas-pasan membuat pemuda itu sedikit minder.

Gendhis dengan tangan terbuka bersedia membantu Bagas. Dengan sabar, gadis yang selalu menyabet juara umum di sekolahnya itu—mengajari putra mahkota Sastrowijono itu.

Kedua orang tua Gendhis merasa was-was, kedekatan putrinya dengan sang juragan akan menimbulkan kesulitan bagi keluarga mereka. Namun, Gendhis selalu berkata, “Gendhis dan Bagas hanya berteman, Pak.”

Hingga hari itu tiba. Selepas pengumuman kelulusan, Bagas menarik tangan Gendhis, mengajaknya ke tempat favorit mereka. Sepasang sejoli yang punya perasaan sama itu beriringan menaiki bukit. Mereka ingin sedikit merayakan keberhasilan karena telah lulus SMA dengan nilai yang sangat memuaskan.

Deru aliran sungai yang menghantam bebatuan, menantang jiwa muda mereka untuk turun ke sisi lain bukit. Sebuah lembah yang jauh dari pandangan mata terlihat begitu indah, bak kepingan surga.

Suara air sungai berkecipak karena cengkerama mereka, menciptakan suasana yang berbeda. Bebatuan besar yang berderet menutupi sebagian aliran sungai, ditambah sunyinya keadaan sekitar, menimbulkan hasrat yang aneh di dalam dada.

Sekian menit saling pandang dengan seragam sekolah yang sudah basah, seketika meluruhkan kegamangan dalam hati kedua insan yang telah dimabuk kepayang.

“Ndhis, aku ... cinta kamu,” desis Bagas, terasa hangat di telinga Gendhis. Tak ada lagi jarak, keduanya melabuhkan gelora dalam dada yang selama ini terpendam. Lepas sudah belenggu adab dan norma, yang ada hanya gejolak rasa yang ingin segera ditumpahkan.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap lekat, menelan ludah menikmati pemandangan tabu yang tercipta. Peluhnya ikut bercucuran bersama laju air sungai yang mengalir deras, menyembunyikan deru asmara dari sepasang raga yang tengah berasyik masyuk. Hingga akhirnya sosok pengintai itu membalikkan badan, berlari pergi.

***

Tiga minggu kemudian.

“Maafkan aku, Ndhis. Bapak menyuruhku kuliah di kota. Aku akan pulang saat liburan semester, tiga bulan lagi. Tunggu aku, ya,” ucap Bagas, saat hari perpisahan.

Gendhis tersenyum, dipaksakan. Kuliah di kota adalah impiannya, tetapi apalah daya. Kaca-kaca mulai memenuhi kedua mata indah Gendhis. Bulir-bulir itu tak sempat jatuh menetes di pipi, Bagas segera merengkuh gadis itu dalam dekapan.

***

Tiga bulan telah berlalu.

Sepanjang perjalanan pulang, senyum terus mengembang di wajah pemuda yang terlihat semakin memesona itu.

“Aku nggak sabar pengin ketemu kamu, Ndhis,” ucapnya lirih, sambil memandangi pemandangan pedesaan dari balik kaca mobil.

Bagas berniat mengajak Gendhis turut serta ke kota. Ia ingin membantunya agar bisa ikut kursus tambahan sebelum mendaftar di salah satu kampus. Gadis itu telah begitu kuat mengikat hatinya.

Sebelum menuju rumah, Bagas meminta sopir pribadinya membelokkan kemudi ke arah pondok kecil keluarga Gendhis. Pak Sopir terlihat kebingungan. “Mas Bagas mau ke mana?”

“Saya mau ke rumah Gendhis, Pak. Lewat sini, kan?” jawab Bagas bersemangat.

“Gen—dhis? Tapi, Mas—,”

“Sudah, Pak, gak pa-pa. Nanti saya yang bilang ke Bapak. Ayo, cepat, Pak!” seru Bagas sediki kesal.

Seorang perempuan paruh baya keluar dari balik pintu. Tatapannya sendu, terkesan datar. Keriput di wajahnya melukiskan beban hidup yang teramat berat.

“Den Bagas, kenapa ke sini? Apa semuanya belum cukup, Den?” ratap ibu Gendhis diikuti air mata yang tiba-tiba mengucur tak tertahan, menimbulkan tanya dalam benak Bagas.

“Maksud Ibu? Gendhis mana, Bu? Boleh saya ketemu dia? Apa yang terjadi, Bu?” cecar Bagas tak sabar.

“Tanyakan sendiri pada Tuan Sastrowijono. Ayah Den Bagas itu lebih tau apa yang terjadi. Maaf, Ibu sudah tidak kuat lagi. Ini, ambillah, surat yang ditulis Gendhis untukmu, sebelum kejadian itu.” Ibu Gendhis mengusap wajahnya yang dipenuhi sisa-sisa air mata, lalu menutup pintu rapat-rapat.

***

Tubuh Bagas lunglai. Kedua kakinya lemas, serasa tak dapat menginjak bumi. Kini ia bersimpuh di hadapan dua pusara yang bersebelahan. Gundukan tanah merah yang masih basah itu adalah bukti kekejaman Sastrowijono dan antek-anteknya. Semua demi nama baik keluarga.

“Maafkan aku, Ndhis. Gara-gara aku, kau dan bapakmu harus menanggung semuanya. Maafkan aku, Ndhiiisss!” tangis penyesalan Bagas, menggema di antara rimbunnya cempaka penghias tanah pekuburan.

Gas, Lek Dargo melihat perbuatan kita di sungai waktu itu. Dia suruhan bapakmu untuk mengawasi kita berdua. Laki-laki itu mengancam kedua orang tuaku, jika aku tak menerima pinangannya, maka dia akan menyebarkan foto dan video mesum kita. Aku tak pernah menyesal dengan perbuatan kita waktu itu, karena buah cinta kita telah tumbuh di rahimku,' ucap Gendhis dalam surat terakhirnya.

Sebelum ia bunuh diri terjun ke jurang,  sang bapak yang hendak mengantarnya menemui Bagas tewas menemui ajalnya setelah baku hantam dengan Lek Dargo dan anak buahnya. Sebuah celurit tertancap tepat di jantung, seketika darah segar muncrat ke segala arah. Gendhis yang histeris, tak kuasa menahan kesedihan, lalu menyusul bapaknya untuk mengakhiri hidup.

Jogja, 3 Juni 2020

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.