Friday, August 29, 2025

Beberapa waktu lalu, saat medical check up sebagai syarat pembuatan QID, aku berkenalan dengan seorang perempuan asal Cianjur. Sebut saja namanya Teteh. Perkenalan singkat itu sebenarnya sudah pernah kuceritakan di tulisan hari ketujuh, ketika kami sama-sama berjumpa dengan Madam Yalla Yalla.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Teteh mengirimiku pesan lewat WhatsApp. Ia menanyakan kabarku dan menyampaikan betapa gembiranya bisa berkenalan denganku. Tentu saja aku pun senang—rasanya hangat sekali mendapat teman baru dari tanah air yang suka menyapa dan berbagi cerita.

Obrolan ringan kami lalu berlanjut ke kisah hidupnya. Saat ia mulai bercerita, aku dibuat terharu dan tersentuh.

“Saya berangkat ke sini tuh baru 40 hari lahiran, Mbak.”

Kalimat itu langsung menusuk hatiku. Sisi keibuanku seketika terguncang. Aku membayangkan bayi mungil yang seharusnya masih dalam dekapan hangat ibunya, terpaksa berpisah karena keadaan.

Teteh bercerita bahwa beban utang keluarganya memaksanya meninggalkan bayi yang baru lahir, serta ketiga anak lainnya yang masih kecil-kecil, demi mengadu nasib di negeri seberang. Suaminya yang memiliki usaha tambak kecil-kecilan kini harus mengurus anak-anak bersama neneknya.

Ya Allah ... hatiku nyes sekali mendengarnya. Rasa syukur membuncah dalam dada. Betapa seringnya kami mengeluh, padahal masih jauh lebih beruntung dibanding Teteh.

Aku mencoba menenangkannya dengan doa dan semangat, berharap ia kuat, sabar, dan lekas terbebas dari lilitan utang. Untunglah, cerita kami tidak melulu tentang sedih. Ada sisi lain yang membuat matanya kembali berbinar, yaitu pengalamannya pernah sukses berjualan seblak.


“Saya sehari jualan dulu bisa dapat jutaan, Mbak. Sampai ke kampung sebelah juga,” katanya penuh semangat.

Sayang, usahanya akhirnya gulung tikar karena hasil jualan lebih banyak dipakai melunasi utang adik-adiknya. Bahkan ia sempat mendapat gangguan karena iri hati orang yang tak suka melihatnya maju. Namun, harapannya tetap ada.

“Insya Allah nanti kalau pulang, saya mau dagang seblak lagi, Mbak,” ucapnya mantap.

Aku pun spontan menimpali, “Teh, bocorin resep seblaknya, dong. Anak-anak di rumah suka banget, tapi saya nggak bisa bikinnya.”

Dengan senang hati ia membagikan rahasia bumbunya. “Kalau ada cilok di rumah, bisa juga dibikin cilok goang. Tinggal pakai bumbu yang sama,” ujarnya dengan emoji senyum lebar.

Kebetulan aku memang punya stok cilok di freezer. Malam itu juga kucoba resepnya. Kuaduk cilok dengan bumbu pedas gurih ala seblak, lalu kuhidangkan hangat-hangat. Aromanya saja sudah bikin selera.

Hasilnya? Anak-anak langsung jatuh cinta. “Enak banget, Bun,” kata mereka sambil berebut. Bahkan, belum habis sepiring, sudah ada yang nyeletuk, “Bun, besok bikin lagi, ya.”

Semalam aku memasaknya lagi. Saat menyendokkan cilok goang ke mangkuk, aku sadar bahwa yang kusajikan bukan hanya makanan, melainkan juga sebuah cerita. 

Ada jejak perjuangan seorang ibu yang berani merantau demi keluarga, ada rasa rindu kampung halaman yang terselip dalam aroma bumbu, dan ada kehangatan keluarga yang menikmatinya bersama-sama.

Aku pun mengirim pesan untuk Teteh sambil melampirkan foto hasil masakanku.

“Teh, cilok goangnya udah jadi, nih. Enak banget. Makasih, ya, resepnya.”

Malam itu, semangkuk cilok goang menjadi pengingat indah bagiku—bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang kisah, perjuangan, dan cinta yang melekat di baliknya.

Qatar, 29 Agustus 2025


Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.