Menyusuri Jejak Sejarah Negeri Mutiara dan Sebuah Renungan di Hari Kemerdekaan
Setiap kali melintasi jalan utama menuju Corniche Doha, ada satu bangunan yang selalu mencuri perhatian. Bentuknya tak seperti bangunan biasa—dari kejauhan terlihat seperti kelopak bunga gurun atau batuan pasir yang bertumpuk asimetris. Unik, megah, dan agak misterius. Anak-anak pun tak pernah bosan bertanya,
"Itu bangunan apa, Bun?"
Ternyata, itu adalah Qatar National Museum, karya arsitek ternama Jean Nouvel, yang desainnya terinspirasi dari bentuk desert rose—mawar gurun yang langka tapi nyata. Yang membuat kami semakin tertarik, masuk ke museum ini gratis untuk warga dan ekspatriat di Qatar. Tanpa pikir panjang, kami langsung menjadwalkan kunjungan akhir pekan ke sana.
Tibalah hari yang dinanti. Akhirnya, kami bisa melihat langsung bangunan megah itu dari dekat. Struktur dindingnya menjulang tinggi dan saling bersilangan seperti kelopak bunga pasir raksasa. Aura modernnya sangat terasa, tapi tetap menyatu dengan nuansa gurun yang hangat dan bersahaja.
Begitu memasuki area dalam, kami disambut suasana tenang dengan pencahayaan lembut dan interior yang artistik. Setiap lorong seperti portal waktu, membawa kami menjelajahi zaman demi zaman. Museum ini bukan sekadar tempat menyimpan benda bersejarah—tapi sebuah pengalaman fantastik yang menggabungkan multimedia, narasi visual, teknologi interaktif, dan arsitektur berkelas dunia.
Anak-anak sangat antusias menjelajahi ruang demi ruang. Mereka terpukau melihat fosil dinosaurus, maket perahu tradisional Qatar, serta rekonstruksi kehidupan masyarakat gurun dan pesisir sebelum era minyak. Tapi yang paling membuat mereka semangat adalah ketika menemukan telepon kabel model lama, mesin ketik manual, radio kuno, dan televisi tabung besar yang hanya menampilkan gambar hitam putih.
"Ini gimana cara pakainya, Bun?"
"Zaman dulu begini? Seru banget!"
Mereka mencoba memutar nomor di telepon rotary yang berbunyi klik...klik...klik, saling pura-pura menelepon dengan wajah penasaran. Aku ikut tertawa dan turut mencoba—sekilas membawaku ke masa kecil, saat masih suka iseng bermain telepon dengan teman dan berakhir salah sambung.
Bagi anak-anak, teknologi masa lalu itu seperti mainan. Padahal, benda-benda itulah yang dulu pernah menghubungkan manusia, menyampaikan pesan, dan menciptakan cerita di masanya.
Kami juga terhenti cukup lama di satu ruang yang membahas masa kejayaan Qatar sebagai penghasil mutiara terbesar di kawasan Teluk. Sebelum minyak ditemukan, negeri ini hidup dari laut. Kami menyaksikan langsung alat menyelam tradisional, perahu dhow, dan cerita tentang para penyelam mutiara yang menyelam tanpa alat bantu—hanya mengandalkan napas, keberanian, dan keterampilan.
"Berarti dulu Qatar belum sekaya sekarang ya, Bun?"
tanya anak sulungku, polos tapi menyentuh.
Pertanyaan itu membuat kami diam sejenak, merenungi betapa pesatnya transformasi negeri ini. Dari wilayah gurun yang sederhana, kini Qatar berdiri sebagai negara modern dengan bandara, stadion, dan menara kelas dunia. Semua dicapai dalam waktu relatif singkat—sekitar lima dekade sejak merdeka.
Setelah puas menjelajah isi museum, kami beristirahat sejenak. Ada area terbuka yang terhubung dengan istana lama, dikelilingi pohon-pohon kurma yang sedang berbuah. Sayangnya, matahari musim panas cukup terik siang itu. Kami hanya membayangkan betapa nyamannya duduk di bawah pohon-pohon itu jika musim dingin tiba.
Perjalanan kali ini terasa istimewa bukan hanya karena tempatnya indah dan edukatif, tapi juga karena bertepatan dengan bulan Agustus, bulan kemerdekaan tanah air kami tercinta.
Melihat bagaimana Qatar mengelola sejarah dan membangun masa depannya dengan sangat serius, kami pun bertanya dalam hati.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri yang jauh lebih besar, lebih kaya sumber daya alam, dan sudah lebih dulu merdeka. Mampukah kita belajar dari mereka, menata bangsa ini dengan visi, strategi, dan keberanian?
Museum ini tak hanya memperlihatkan masa lalu. Ia seperti cermin yang mengajak pengunjung—terutama kami yang datang dari negeri lain—untuk merenungkan perjalanan bangsa sendiri.
Dirgahayu Indonesiaku.
Semoga semakin maju, mandiri, dan berdaulat di negerimu sendiri.
Qatar, 17 Agustus 2025