Tuesday, August 5, 2025


Apa yang kalian pikirkan saat pertama kali melihat buah ini? Sekilas tampilannya mirip buah naga, tapi dengan bintik-bintik seperti mengkudu. Permukaannya kasar, warna kulitnya antara kuning, jingga, dan sedikit merah bata. Cantik? Hmm… kalau kamu bilang menggoda, jujur saya tidak sepakat.

Buat saya pribadi, waktu pertama kali melihat buah ini di rak supermarket, reaksi saya cuma satu, melengos. Tidak menarik. Tidak meyakinkan. Bahkan saya sempat mikir, "Ini buat dimakan atau buat uji nyali?"

Namun setelah beberapa kali belanja dan si buah ini terus muncul seperti sedang merayu-rayu dalam diam, akhirnya saya menyerah juga. Bukan karena jatuh cinta, tapi karena ayahnya anak-anak penasaran ingin coba dan sehari sebelumnya teman saya yang sudah lama tinggal di Qatar tiba-tiba mengirim foto buah ini dengan caption, “Vi, udah pernah coba ini belum?”

Foto itu menampilkan hamparan buah berwarna kuning jingga, penuh bintik gelap di kulitnya. Dan dari situlah saya mulai mencari tahu lebih lanjut.

Buah ini bernama soubbar. Dalam bahasa Arab disebut teen shauki, di Barat dikenal dengan nama prickly pear, dan suku Aztec menyebutnya tuna.

Buah ini tumbuh subur di daerah kering. Ia tak butuh banyak air, tahan panas, dan tangguh di tanah tandus. Soubbar dibudidayakan lokal di Qatar, tapi juga banyak diimpor dari Mesir, Iran, dan Yordania.

Dari berbagai sumber yang saya baca, buah ini kaya antioksidan, vitamin C, serat, bagus untuk pencernaan dan hidrasi, bahkan disebut-sebut bisa membantu menurunkan kadar gula darah. Lengkap, kan? Sehat luar dalam.

Akhirnya kami beli juga. Waktu mengambil di rak, saya pakai capitan yang sudah disediakan—karena saya cukup tahu diri sebagai pemula. Tapi suami saya malah nyeletuk, “Halah, pakai capitan segala. Gini loh caranya...”
Lalu dengan penuh percaya diri, dia ambil pakai tangan kosong.

Sesampainya di rumah, kami sama-sama excited ingin segera mencicipi. Suami mulai mengupas kulit tebal soubbar—tentu masih dengan tangan kosong. Saya pun akhirnya ikut-ikutan.
Kesalahan kami dimulai dari sini.

Isinya cantik banget. Daging buahnya merah tua, berair, dan terlihat sangat segar. Kami pun menyantapnya potong demi potong. Rasanya benar-benar di luar dugaan. Segar, manis, tidak terlalu pekat, seperti gabungan leci, buah naga, semangka, dan kelengkeng—tapi versi lebih desert-style.

Saya sempat mikir, “Wah, kenapa baru kenal buah ini sekarang?” Tapi lalu...

Beberapa menit setelah selesai makan, jempol dan telunjuk saya terasa nyut-nyutan. Awalnya saya kira cuma efek geli atau alergi kecil. Tapi kok makin lama makin seperti ditusuk-tusuk jarum halus.

Saya cuci tangan berkali-kali. Pakai sabun, air hangat, bahkan rendaman garam. Tetap saja... rasa perih seperti ditusuk-tusuk tetap setia menemani.

Rupanya, soubbar menyimpan duri-duri mikroskopis di kulitnya—nyaris tak terlihat, tapi nancep ke kulit seperti dendam pribadi.

Tiga hari lamanya jempol dan telunjuk kami subanan. Pegang gelas nyeri, buka pintu nyut-nyutan, gosok mata? Jangan harap. 

Saya akhirnya menyerah dan berkata sambil cemberut, “Tuh, kan, kemarin Ayah ngeledekin Bunda pakai capitan. Sekarang malah dua-duanya kena.” Suami cuma nyengir sambil tiup-tiup jempolnya.

Sampai hari ini, soubbar masih jadi bahan guyonan di rumah. Tapi juga jadi pengingat penting. Jangan pernah meremehkan sesuatu sekecil apapun itu.

Qatar, 4 Agustus 2025

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.