Sunday, February 17, 2019

Tentang Rindu
Oleh: Silvia Destriani



     “Mik, kenapa? Pulang aja! Bapakmu pasti senang banget,” ucap Iyan membuyarkan lamunanku, hampir saja ponsel di tangan jatuh ke lantai.

     “Enggak, Yan, aku belum siap.” Seperti biasa aku melengos saat sahabat karibku itu menyinggung soal Bapak.

     Kutuang kopi yang mulai mendingin ke dalam mug kesayanganku. Teringat kenangan manis saat kecil bersama Bapak, lelaki itulah yang sering mengajariku membuat ramuan kopi yang nikmat.

     Berdirinya kedai kopi kekinian ini tak kupungkiri juga terinspirasi dari Bapak. Mikoffi, siapa pencinta kopi di kota ini yang tak mengenalnya. Bahkan para pelancong dari luar kota pun menyempatkan waktu mereka untuk sekadar bersantai di kedai ini.

     Sayang sungguh sayang, mimpi Bapak itu harus aku bangun sendiri tanpa campur tangannya. Hatiku terlalu sakit bila harus berdekatan dengan laki-laki itu. Seperti segelas kopi yang racikannya gagal, rasa pahitnya lebih mendominasi daripada manisnya.

     Begitulah perasaanku pada Bapak saat ini, rasa sayang dan rinduku padanya seolah tertutupi oleh benci. Bagiku kesalahan yang telah ia lakukan sangat sulit untuk dimaafkan.

     “Mik, sebenarnya aku kasihan sama bapakmu. Kenapa pesan darinya tak pernah kau balas? Dia rindu padamu, Mik!” Iyan berkata sedikit emosional. Sejak kecil ia sudah ditinggal pergi ayahnya yang kecelakaan saat bekerja. Ia akan berubah melankolis bila membicarakan orang tua.

     “Salahmu yang memberikan nomor ponselku ke Bapak. Sudah kubilang, aku tak mau lagi berhubungan dengannya. Hatiku sakit, Yan!” Sahabatku itu, aku yakin dia sering menerima telepon dari Bapak yang menanyakan kabarku.

     “Terserah kau saja, Mik! Aku sudah memberitahumu. Semoga kau tak menyesal nanti, Bro!” ucap sahabatku itu kecewa.

     Hari ini aku menyerahkan urusan kedai Mikoffi pada Iyan. Aku ingin pulang lebih cepat, tak enak rasanya melayani pengunjung yang berdatangan dengan perasaan yang sedang kacau.

     “Aku harap kau bisa sedikit meluluhkan hatimu, Mik. Aku tahu kau kecewa pada bapakmu, tapi kau beruntung masih memiliki orang tua. Masih ada kesempatan buatmu berbakti. Sedangkan aku …,” bisik Iyan saat tadi aku pamit untuk pulang lebih dulu.

***

     Saat itu, aku masih sangat belia. Aku tak begitu paham akan apa yang terjadi di antara kedua orang tuaku. Yang kutahu, Bapak dan Ibu saling mengasihi.

     Bapak adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab, penyayang, dan sangat mencintai Ibu. Sedangkan Ibu adalah perempuan penurut yang lemah lembut. Kehidupan keluarga kami sangat bahagia dan jauh dari masalah. Hingga suatu ketika, aku melihat perubahan di antara mereka.

     Bapak yang biasanya menemaniku bermain saat sore hari kini tak lagi kutemui. Ia terlihat lebih sibuk dari biasanya. Saat kutanya, “Pak, kok pulangnya malam-malam terus?” maka ia hanya menjawab, “Bapak lembur, Miko.”

     Bahkan suatu hari aku menemukan Bapak tak pulang. Sementara kuperhatikan Ibu semakin hari semakin kurus. Wajahnya yang biasa ceria, menjadi kusam tak bergairah. Ia kulihat sering batuk-batuk dan kegiatannya yang suka memasak makanan favorit kami pun sudah jarang dilakukan. Ibu banyak diam dan termenung.

     Kukira Ibu sakit, tapi saat kutanya, Ibu selalu menggeleng. Sebagai anak-anak aku pun tetap bermain riang gembira seperti biasa, tanpa tahu apa yang terjadi.

     Sampai saat itu tiba, hal yang paling menyedihkan dalam hidupku. Ibu meninggalkanku untuk selama-lamanya setelah malam itu ia batuk-batuk parah dan sesak napas. Sedangkan Bapak, entah di mana keberadaannya.

     “Maafkan Bapak, Miko.” Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya setelah pemakaman ibu.

     Semua berjalan seperti biasa sejak kepergian Ibu. Bapak masih menemaniku belajar setiap malam walau hanya sesekali. Ia lebih sering pulang larut. Begitu seterusnya hingga aku menginjak tahun ketiga di bangku kuliah.

     “Mik, Bapakmu apanya Tante Santi? Aku sering lihat bapakmu keluar masuk rumah itu. E-ciyeee … ada yang mau dapat mama baru nih kayaknya,” goda Siska teman kuliahku. Aku pun kaget mendengarnya. Apalagi setelah Siska menjelaskan, tetangganya bernama Santi itu adalah seorang wanita penggoda.

     Dadaku bergemuruh, jangan-jangan Ibu sakit-sakitan dan akhirnya meninggal karena ulah Bapak. Setelah kuselidiki sendiri dan memaksa Bapak untuk mengaku, akhirnya rasa kecewa teramat sangatlah yang kudapat.

     “Maafkan Bapak, Nak.” Lagi-lagi, itulah yang berkali-kali Bapak ucapkan sebelum aku pergi, hidup mandiri dengan membawa luka.

***

     Dering ponsel memecah lelapku. Ah, Iyan. Ada lima panggilan tak terjawab dan sebuah pesan whatsapp darinya. Sepenting apa hingga dia menelepon pagi-pagi begini.

     [Lihat berita, Mik! Semalam tsunami sampai ke pesisir Lampung. Aku coba telepon bapakmu tapi tulalit.] Pesan Iyan seketika melemaskan sendi-sendiku. Bapak. Tubuhku meluruh ke lantai. Kutekan nomor bapak yang tak pernah kupedulikan. Nihil.

     Ya, Allah, beri aku kesempatan.

***

     “Saya sempat melihat Bapak terbawa arus, Mas. Setelah itu saya enggak tahu lagi.” Ucapan tetangga dekatku itu bagai petir yang menyambar-nyambar.

     Dadaku sesak. Kupandangi kantong-kantong kuning di depanku, hingga cairan bening di pelupuk mata mulai mengaburkan pandangan. Inikah akhir dari pelarianku selama bertahun-tahun?

     “Bapaaak!”

Jogja, 8 Februari 2019

#AlumniKPK
#TentangRindu
#Virzha_Idol
#SongFiction
#745kata

1 komentar:

tulisan yang sangat baggus

REPLY

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.