Thursday, June 11, 2020


#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_10
#NomorAbsen_349

Jumlah kata: 747

Judul: Sesuatu di Kantin Sekolah

Suasana tempat ini sudah jauh berbeda, lebih bersih dan tertata rapi. Tidak seperti zamanku dulu yang tampak kumuh dan sempit.

“Kantin ini sudah lama dirombak, Bu,” ujar seorang penjual minuman, ketika ia meletakkan segelas es cappucino di hadapanku.

Saat memesan minuman tadi, aku sedikit berbasa-basi dengannya. Betapa aku takjub dengan perkembangan fasilitas di sekolah yang pernah menjadi tempatku menuntut ilmu ini.

Selagi menyeruput seperempat gelas minuman favoritku itu, terdengar suara bel berbunyi—tanda jam istirahat tiba. Terlihat muda-mudi usia enam belas tahunan berduyun-duyun memasuki kantin. Tawa canda mereka begitu riuh, membuatku terbayang masa putih abu-abu yang seru dan menyenangkan.

Setelah memasuki kantin, mereka berpencar ke stan-stan yang menawarkan menu jajanan yang berbeda-beda. Namun, ada pemandangan menarik yang kudapati. Satu stan terlihat begitu ramai dibanding stan-stan di sebelahnya. Senikmat apakah makanan yang dijual?

Padahal ada sekitar lima stan penjual makanan di dalam area kantin sekolah ini. Dua stan penjual minuman sekaligus camilan dan tiga stan penjual makanan berupa nasi soto, nasi rames, dan bakso.

Menu yang terakhir kusebut tadi adalah alasan kenapa aku berada di tempat ini. Keponakanku yang sekolah di sini bilang kedai bakso ini selalu ramai, bahkan terkadang sebelum jam istirahat kedua sudah ludes.

“Stan yang lain sepi, Tan, kadang kasihan lihatnya. Daripada aku ngantre panjang untuk semangkuk bakso, lebih baik makan nasi rames aja deh,” cerocos keponakanku waktu itu. “Lagian, temenku bilang kalau mereka pake—.”

Tak sempat menyelesaikan kata-katanya, keponakanku yang ganteng itu langsung berlari ke belakang karena mual membayangkan apa yang diceritakan oleh temannya.

Secara kasat mata memang tidak ada yang aneh pada kedai bakso itu. Sepasang suami istri pemiliknya melayani siswa-siswi—langganan mereka dengan ramah dan cekatan.

Satu persatu pembeli menikmati semangkuk bakso itu dengan wajah puas dan penuh peluh. Saking nikmatnya, ada yang sampai menghirup kuahnya hingga tandas.

“San, sudah pesan makan? Cobain baksonya tuh, katanya enak loh ha-ha.” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Ah, Rini rupanya, kami memang janjian di sini saat istirahat kedua. Setelah ‘cipika-cipiki’ sejenak karena lama tak bersua, kami pun berbincang-bincang.

Beberapa siswa yang melewati kami menunduk hormat. Terang saja, selain kami adalah ibu-ibu, Rini menjabat sebagai wakil kepala sekolah di SMA unggulan ini.

“Rin, kamu pernah nyobain baksonya?” tanyaku sambil melirik ke arah yang kumaksud.

“Pernah bungkus, San. Begitu kusantap, nggak sampai habis, eh langsung muntah-muntah.” Rini bercerita. “Untung aja anak-anak dan suamiku belum sempat makan.”

“Ya udah, sekarang kamu bungkusin satu buatku, Rin.”

***

Kali ini, aku dan Rini kembali janjian di kantin sekolah. Namun, bukan cuma kami berdua. Pihak berwajib turut mengawal pertemuan kami. Ada apakah gerangan?

Setelah membawa sampel bakso yang dibungkuskan oleh Rini beberapa hari lalu. Aku langsung mengecek kandungannya di laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan—tempatku bekerja.

Hasil tes laboratorium membuktikan bahwa bakso yang dijual di kantin sekolahku itu mengandung boraks, yang tentu saja melanggar hukum.

Selain itu, ada fakta yang lebih mengejutkan lagi. Ternyata daging yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan bakso bukanlah daging sapi murni, melainkan oplosan. Alias campuran daging sapi dengan daging celeng. 'Malangnya kalian, Nak.’

Semua siswa dan guru-guru dibuat terkejut, ketika Kepala Sekolah ikut ditangkap bersama sepasang suami istri penjual bakso oplosan itu. Hasil penyelidikan polisi ternyata sudah lama dilakukan. Mereka dicurigai sebagai anggota komplotan penyelundup dan pemasok daging celeng ke warung-warung bakso di kota ini.

Saat penangkapan itu berlangsung, terjadi hal yang aneh. Seorang siswi menggelepar-gelepar di atas lantai kantin. Tampaknya ia kesurupan dan mengeluarkan suara seperti seorang nenek yang sedang marah.

“Cicing siah! Ulah ngaganggu dunungan aing!” teriak siswi berwajah oriental itu dengan bahasa Sunda yang fasih.

Beberapa siswa memegangi tangannya yang mulai bergerak bebas memukul ke sana kemari, hingga Pak Said—guru agama yang punya keahlian rukiyah datang membacakan ayat-ayat suci Al-Quran.

“Ai silaing nanaonan babacaan nu kitu patut di dieu, hah? Rék ngusir aing? Ngajedog siah! Aing mah moal ka mana-mana,” cerocos gadis itu dengan suara nenek-nenek. Jin di dalam tubuhnya itu ternyata pantang menyerah.

Akhirnya Pak Said menyuruh beberapa guru untuk membawa gerobak bakso dan segala perlengkapannya keluar kantin. Lalu, menyemprotnya dengan selang air disertai bacaan ayat-ayat suci Al-Quran secara beramai-ramai. Barulah tubuh siswi itu lunglai.

Setelah itu, buhul-buhul yang tertanam di sekitar kantin pun ditemukan, kemudian dibakar.

Aku tak habis pikir, hanya demi meraup keuntungan, orang-orang itu mampu menghalalkan segala cara. Berbuat curang pada sesama, hingga menggadaikan imannya. Padahal rezeki itu adalah hak prerogatif Sang Maha Kaya dan tak akan pernah tertukar.

Di antara keriuhan itu, keponakanku mendekat. “Tante, itu mungkin nenek-nenek yang dibilang temenku waktu itu. Kerjaannya ngeludahin mangkok-mangkok bakso yang mau dihidangin. Hiii ...,” bisiknya, bergidik ngeri.

***

Jogja, 10 Juni 2020

Catatan:
1. Cicing siah! Ulah ngaganggu dunungan aing! :
Diem kamu! Jangan mengganggu bos saya!

2. Ai silaing nanaonan babacaan nu kitu patut di dieu, hah? Rék ngusir aing? Ngajedog siah! Aing mah moal ka mana-mana:
Kamu ngapain baca-bacaan yang begitu di sini, hah? Mau ngusir saya? Diam kamu! saya nggak akan ke mana-mana.

Pic by: loop.co.id (improvisasi dengan canva)

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.