Monday, June 8, 2020


#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_8
#NomorAbsen_349
Jumlah kata: 863

Judul: Tribute to Ojek

Kalian pernah punya sahabat kaki empat yang lucu? Kucing, anjing, kambing, sapi, kelinci, atau kuda? Ah, rasanya itu sudah biasa. Aku yakin, kalian pasti akan ternganga bila tahu seperti apa sahabat kaki empatku.

Ojek, demikian nama yang kusematkan pada si kaki empat dengan moncong bergerigi bak gergaji itu. Temanku ini punya kulit yang keras dan sepasang mata predator yang tajam.

Memelihara seekor hewan yang tak lazim seperti Ojek, sebenarnya bukan kali pertama bagi keluargaku. Bapak yang seorang penyayang binatang punya banyak piaraan unik. Mulai dari sepasang burung beo yang bisa bicara, seekor ikan arwana berwarna kuning keemasan yang panjangnya sudah hampir satu meter, hingga seekor siamang—sejenis kera tak berekor berwarna hitam asli Sumatera.

Ojek adalah piaraan spesial kesekian yang pernah menjadi temanku. Saat dibawa ke rumah ini, sempat terjadi perdebatan antara Bapak dan Ibu. Tentu saja Ibu khawatir, Ojek yang akan tumbuh besar pasti menimbulkan masalah kelak di kemudian hari.

“Kasian teman Bapak udah ngasi jauh-jauh dari Sungsang. Masa mau dipulangin lagi?” Dengan santai Bapak memberikan alasan.

Saat mendengar kata 'Sungsang', terbayang sebuah kengerian. Di sana pernah jatuh pesawat asal Singapura dari maskapai Silk Air. Sungsang adalah daerah perairan Sungai Musi yang merupakan muara sungai.

Waktu itu, korban banyak ditemukan sudah tak utuh lagi, kemungkinan bukan karena ledakan. Banyaknya kawanan buaya muara yang terkenal ganas di sana, bisa jadi menyulitkan tim penyelamat untuk menemukan potongan jasad yang masih utuh.

Akhirnya, Ojek kami pelihara. Saat itu panjangnya masih sekitar dua jengkal saja. Aku pun tak takut untuk memasukkan jemari di antara gigi-giginya yang mungil. Ada sensasi rasa geli. Aneh, kan? Ya, begitulah, namanya juga masih bayi.

Kini, si kulit keras pendiam itu menjadi penghuni baru akurium setelah arwana kesayangan Bapak mati. Awalnya Ojek bisa bergerak bebas di dalam rumahnya. Dia akan menangkap potongan daging yang kami lemparkan.

Belum sampai setahun, tubuh Ojek membesar dengan pesat. Akuarium tak sanggup lagi menampung panjangnya yang sudah mencapai satu meter. Temanku ini juga sudah terbiasa berada di sekitar manusia seperti kami. Dia tidak seagresif teman-temannya di alam bebas. Atau mungkin belum saja. Entahlah.

“Pak, itu Ojek apa nggak dipindahin ke kolam belakang aja? Kayaknya udah sumpek di dalam akuarium, nggak bisa gerak bebas.” Ibu yang dulunya menentang kehadiran Ojek di antara kami, ternyata perhatian juga.

Keesokan hari, Bapak mengeluarkan Ojek dari akuarium. Sementara membersihkan kolam dari daun-daunan dan memasangkan beberapa bilah kayu untuk tempat berjemur Ojek, Bapak mengikatkannya dulu di batang pohon halaman belakang.

Tak sampai setengah jam, tiba-tiba terdengar teriakan yang berasal dari rumah tetangga. Lalu, seorang ibu berlari tergopoh-gopoh mendekati Bapak.

“Pakde, itu buayanya lepas, masuk ke dapur saya!” Tanpa tedeng aling-aling, Bapak langsung bergegas ke rumah tetangga.

Alamak! Ternyata, Ojek berhasil melepaskan tali ikatan, lalu berjalan dengan santai memasuki dapur tetangga kami di mana tergeletak seorang bayi yang sedang ditidurkan ibunya di lantai.

Ojek hanya mematung dan tidak melakukan apa-apa, tetapi dia sudah cukup menakuti tetangga kami dengan badan besarnya itu. Akhirnya Bapak berhasil menggiring Ojek masuk ke dalam kolam.

Setelah menghuni kolam belakang rumah tempat biasa Bapak memelihara lele, semua berjalan seperti biasa. Sesekali aku ikut melemparkan makanan berupa potongan daging ayam segar. Terkadang, ayam piaraan Bapak yang sudah mati juga disantap Ojek dengan lahap.

Menjelang siang, Ojek biasanya terlihat nangkring di atas bilah kayu yang dipasang Bapak. Pembawaan Ojek yang tenang, membuat kami terkadang sedikit melupakannya. Kami baru menyadari keberadaannya ketika terdengar suara tepukan air dari kolam. Ojek mengibaskan ekornya, memberi tanda bahwa ia lapar.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, begitu cepat. Kesibukan kuliah dan bekerja membuatku tak lagi memperhatikan Ojek. Sesekali kepalanya terlihat menyembul di permukaan air kolam ketika aku hendak membuang sampah.

Dua tahun berlalu, ternyata Ojek sudah sangat besar. Kata Bapak mungkin sudah hampir tiga meter.

“Wah, ngeri, Pak. Coba Ojek kita sumbangin ke Punti Kayu aja, Pak. Kasihan di sini udah kesempitan,” ucapku memberikan masukan. Hutan Wisata Punti Kayu adalah tempat wisata di mana juga terdapat binatang-binatang yang dilindungi.

Bapak pun menyetujui usulku, lalu menyuruhku mencari info penangkaran buaya yang terletak bersebelahan dengan Punti Kayu. Tentunya dengan harapan kehidupan yang lebih baik bagi Ojek.

***

Dua orang datang, mengaku dari Punti Kayu. Mereka terlihat profesional menangani Ojek. Saat itu, aku sempat terkejut melihat besarnya badan Ojek yang notabene seekor buaya muara. Aku jadi ngeri sendiri, membayangkan mulut besarnya menganga dan menerkam mangsa.

Selepas kepergian Ojek, kami senang karena berpikir teman kaki empatku itu telah menemukan tempat yang tepat dan bahagia berkumpul dengan kawanannya. Dua orang penjemput Ojek waktu itu pun mengatakan sewaktu-waktu kami bisa menjenguknya.

Namun, ternyata kami salah. Beberapa hari setelah perginya Ojek, sebuah kabar mengejutkan kami dapat dari siaran berita televisi daerah.

“Pihak berwajib menutup sebuah penangkaran buaya ilegal. Selain tak berizin, penangkaran tersebut telah melanggar undang-undang dengan melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap buaya-buaya di bawah umur untuk kebutuhan ekspor. Padahal menurut aturan yang berlaku, penangkaran hanya boleh mengambil kulit buaya yang telah berumur di atas tiga tahun.

Aksi ini didukung oleh dua orang oknum pekerja Hutan Wisata Punti Kayu yang selama ini telah menyerahkan buaya-buaya hasil sumbangan warga ke pihak penangkaran, untuk mencari keuntungan pribadi,” ucap seorang news anchor, sementara di layar televisi ditampilkan sepasang oknum pekerja Punti Kayu yang dalam keadaan terborgol—wajah mereka tak asing bagi kami.

“OJEEEK!” Malang nian nasibmu, Kawan.

***

Jogja, 8 Juni 2020

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.