Monday, June 8, 2020


#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_7
#NomorAbsen_349

Jumlah kata: 946

Judul: Let By Gone Be By Gone

Seperti yang lalu-lalu, aku mengadakan sedikit acara amal pada pembukaan cabang restoranku. Sesuai cita-cita sejak awal membangun usaha ini, setelah lima cabang sukses di luar kota, akhirnya aku bisa mendirikan cabang ke enam di kota kelahiranku. Ya, hitung-hitung biar bisa sering pulang kampung—menengok Ibu.

Antrean warga yang mengular sejak pagi tadi di depan restoran membuat para karyawanku harus bekerja ekstra. Sebagian besar mereka memang orang baru yang kurekrut sebulan lalu, tetapi berkat bimbingan dari beberapa seniornya yang kumutasi dari cabang lain, mereka tampak sangat cekatan.

Wajah-wajah bahagia terlihat dari orang-orang kurang beruntung yang mendapat jatah makan gratis. Momen inilah sebenarnya yang paling mengharukan buatku, karena aku dulu adalah bagian dari mereka.

Menjelang siang, antrean hanya tersisa sekitar lima orang saja. Kulihat beberapa orang karyawan juga sudah mulai santai. Salah seorang berinisiatif membalik tulisan 'buka' menjadi 'tutup' di pintu masuk, untuk memberi kesempatan istirahat makan siang dan salat pada teman-temannya.

Namun, tiba-tiba terdengar sedikit kegaduhan. Aku menyipitkan mata, seorang lelaki sedang menggandeng anak kecil berusia sekitar lima tahun. Sepertinya dia menyerobot antrean.

“Maaf, Pak, silakan antre, ya,” ujar salah seorang karyawanku pada lelaki yang terlihat lusuh itu. Sedangkan anaknya mulai merengek, entah karena kepanasan atau ... lapar.

Aku mendekat, sedikit penasaran kenapa lelaki itu begitu tak sabar hingga menyerobot antrean. Semakin mendekat, semakin mataku membelalak.

“Astaga, Beni, kan?” Lelaki itu tampak terkejut. “Aku Aji, teman SMA-mu. Masa lupa? Ayo, duduk di sana!” Ah, terang saja dia lupa, terakhir bertemu dulu aku masih seorang anak miskin yang kurus dan lemah.

***

Dua puluh tahun yang lalu.

Lagi-lagi, pagi ini aku harus berlari ke arah gerbang sekolah. Sekarang mungkin sudah pukul tujuh lebih. Bersekolah sambil membantu orang tua berjualan di pasar tidaklah mudah, tetapi semua mesti kulakukan demi masa depan. Aku tak ingin Bapak dan Ibu masih harus banting tulang di masa tua mereka.

Suara lantang Bu Zaro—guru matematika yang terkenal galak terdengar dari kejauhan. Ah, aku pasrah jika harus disuruhnya maju ke depan dan menyelesaikan soal sebagai kompensasi keterlambatanku.

Kuangkat tangan yang gemetaran ini untuk mengetuk pintu. Keringat dingin mulai bercucuran. Terbayang perangai Bu Zaro yang tak segan-segan membenturkan jidat siswa-siswinya ke papan tulis karena tak bisa menjawab soal dengan benar.

“Masuk!” seru Bu Zaro setelah aku mengetuk pintu.

Suasana kelas hening, tiada yang berani bersuara. Kulihat Beni sedang berdiri mengerjakan soal di papan tulis.

“Terlambat lagi kau, Aji! Ibu bingung mau kasi kau hukuman apa. Berdiri dulu kau di situ!” Selesai berucap, Bu Zaro menoleh ke arah Beni yang tampak gelagapan. “Hei, Beni! Malu-maluin kau ini! Anak pejabat ngerjain soal gitu aja nggak bisa.”

Beni sukses menjadi bulan-bulanan Bu Zaro yang gemas melihatnya hanya coret-coret tak jelas. Sudah malu, kepala benjol pula. Aku mulai bergidik, membayangkan hal itu terjadi padaku.

“Nah, Aji, kau boleh duduk kalau bisa selesaikan soal si Beni tadi. Ayo, kerjakan!”

Gemetaran, aku berusaha mengerjakan soal. Entah bagaimana hasilnya.

“Nah, ini baru benar! Duduk kau, Aji!” Lega rasanya. Ternyata belajar sebentar setelah salat malam lumayan berguna.

***

Sejak kejadian di kelas hari itu, teman-teman mulai mengakui keenceran otakku. Beberapa sering memasukkanku ke dalam kelompok mereka saat ada tugas yang mengharuskan kerja sama. Namun, ada juga yang masih meremehkanku sebagai anak penjual sayur, seperti Beni dan gengnya.

Aku tahu, mereka mengekori Beni karena dia anak orang kaya yang kerap mentraktir dan membangga-banggakan harta orang tuanya.

Suatu siang, ketika giliranku piket di kelas, Beni mendatangiku bersama gengnya. Keadaan sekolah sepi karena sudah lewat jam pulang. Tiba-tiba dia mengunci pintu kelas dan mulai berbuat anarkis.

Empat orang temannya mengikat tangan dan kakiku, lalu membaringkanku di atas lantai. Dalam keadaan mulut tersumpal kain, Beni memukuliku. Remuk redam rasanya, hingga aku lemas terkulai.

“Ingat, ya, jangan bilang-bilang kalau aku yang mukulin kau, Ji.  Jangan sok pintar dan sok ganteng kau di sini! Jangan berani-berani lagi kau dekati Wulan.” Padahal sebenarnya Wulan-lah yang sering datang ke rumahku, untuk mengambil pesanan sayur segar ibunya.

Setelah perundungan itu, aku demam hingga terpaksa tak masuk sekolah selama dua hari. Terpaksa aku mengaku jatuh pada Ibu karena badanku yang memar-memar. Aku tak ingin membebani pikiran kedua orang tua.

Namun, Beni bukannya berhenti merundungku. Sebulan kemudian, anak semata wayang dari seorang pejabat kepolisian itu lagi-lagi membuatku tak berkutik. Saat berjalan pulang melewati jalanan sepi di pinggir persawahan, dia mendekatiku dengan motornya lalu menendangku hingga terjerembap bermandikan lumpur.

Keisengan-keisengan kelewat batas itu terus dilakukan Beni, tanpa aku bisa melawan. Apalah dayaku, seorang anak penjual sayur yang miskin. Jika melaporkannya pada pihak sekolah, pastinya akan merepotkan kedua orang tuaku juga. Orang tua Beni yang berkuasa, pastinya juga tidak akan tinggal diam.

Akhirnya aku memilih bertahan hingga lulus SMA. Penderitaanku berakhir setelah aku hijrah ke Bandung, karena mendapat beasiswa dari salah satu universitas ternama di sana.

***

Beni tampak kikuk, dengan wajah tertunduk. Aku tahu, dia malu atas perbuatannya padaku di masa lalu.

“Maafkan aku, Ji. Setelah lulus dengan nilai pas-pasan, aku dimasukkan ayahku ke sebuah kampus swasta. Di sana pergaulanku makin kacau, hingga terjerat narkoba. Ayahku masih saja mau membantuku lepas dari jeratan hukum, tapi hari itu dia dicopot dari kesatuannya karena terbukti korupsi. Ibuku kena serangan jantung, nggak lama ayahku juga menyusul karena sakit-sakitan di dalam tahanan.” Suara Beni bergetar, sambil memeluk buah hatinya.

“Untunglah, Ji, aku bertemu seorang gadis sesama pengguna  narkoba di tempat rehabilitasi. Kami sama-sama bertobat, lalu menikah. Tapi, kau lihat sendiri, Ji, seperti inilah aku sekarang.”

“Aku sudah memaafkanmu, Ben, sejak dulu. Jika kau mau, masih ada satu slot kosong di restoran ini sebagai tenaga delivery,” ucapku menawarkan bantuan pada Beni yang terlihat mulai berkaca-kaca.

Benar kata almarhum Bapak dulu, “Jika kau dilempari batu, jangan sekali-kali melemparkannya kembali. Kumpulkan batu-batu itu dan jadikan pondasi untuk membangun rumah.”

Sekarang bukan hanya rumah yang berhasil kubangun, Pak. Namun, sebuah istana yang megah.

Jogja, 7 Juni 2020

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.