Wednesday, June 10, 2020


#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_9
#NomorAbsen_349
Jumlah kata: 756

Judul: Papaku Superstar

Malam ini Arash menginap, setelah seminggu tak menunjukkan batang hidungnya. Dia mendengkur keras sekali, tampak lelah dari perjalanan jauh.

Aku tahu, Arash tak pernah nyaman pulang ke rumah istri sahnya. Sepuluh tahun ia terperangkap dalam perjodohan, tanpa cinta. Namun, Ratna—istrinya—perempuan yang teguh pendirian. Ia tak mungkin begitu saja melepaskan Arash yang telah memberinya dua orang anak.

Sejak enam tahun lalu, aku memang tak bisa banyak berharap pada hubungan kami, karena sadar posisiku. Namun, secarik surat dari sekolah Rasya menjadi alasan kuat untuk menilik kembali tanggung jawab lelaki itu sebagai seorang ayah.

“Ma, Papa disuruh datang sama Bu Guru,” ucap bocah itu, sambil berlari kecil ke arahku yang telah menunggunya di depan gerbang TK siang tadi. Rasya terlihat semringah sambil melambai-lambaikan surat pemberitahuan acara 'Ayahku Pahlawanku'.

Perasaan galau seketika menerpa. Acara itu mengharuskan siswa-siswinya untuk datang bersama ayah mereka, untuk memamerkan kehebatan ayah masing-masing.

Andai saja dulu aku tak bertemu dengan lelaki itu dan tergila-gila padanya, pasti tak begini. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

***

Sejak semalam, aku telah berpikir matang-matang. Pagi ini, Arash harus memutuskan apa yang seharusnya ia lakukan sejak enam tahun lalu.

Kudekati lelaki yang sedang menghabiskan sarapannya itu. Rambut yang masih basah karena baru saja mandi dengan aroma maskulin yang segar menguar—membuatku selalu tak tahan untuk memeluknya.

“Udah sarapan, Sayang?” tanyanya lembut. Aku melepaskan pelukan, lalu mendengkus.

“Mas, mau sampai kapan kau menyembunyikan aku dan Rasya?” Arash menghentikan suapannya, menoleh padaku.

“Sepertinya itu sudah nggak perlu dibicarakan lagi, Sayang. Aku bertanggung jawab pada kalian berdua. Apa itu belum cukup?” Aku tahu, Arash selalu tak nyaman jika aku mulai mengungkit status pernikahan kami.

“Aku memang tidak masalah, Mas, tapi tidak untuk Rasya. Ini!” Aku serahkan secarik kertas itu dengan berat. “Rasya berharap kamu datang bersamanya besok.” Kali ini aku duduk di sisi meja lain, berhadapan dengannya, mengamati bahasa tubuhnya yang terlihat gelisah.

Tak lama, Rasya muncul, masih mengucek-ngucek mata dan mendekati Arash. Seperti biasa, lelaki kecilku itu akan bermanja di pangkuan ayahnya—merasakan kehangatan yang jarang ia dapatkan.

“Pa, Papa nganterin Rasya, kan, besok?  Iya kan, Ma? Papa jangan lupa video-in Rasya tampil besok, ya. Kita pake bajunya seragaman ya, Pa. Papa punya kan, baju warna biru?” Pertanyaan dan permintaan diucapkan bertubi-tubi oleh Rasya.

“Ehm, gimana kalau besok Rasya datang dulu sama Mama? Papa ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal. Malam Minggu Papa janji deh, kita makan-makan di luar. Oke?” bujuk Arash.

“Rasya nggak mau sekolah lagi, kalau Papa nggak datang besok. Malu tau! Datang ya, Pa!” ancamnya memaksa. Aku tak bisa membela ayahnya kali ini.

Apa aku harus terus memakluminya? Selama ini aku selalu memintanya menceraikanku, agar kami masing-masing bisa hidup normal. Namun, Arash selalu menolak. “Sabarlah, Sayang. Aku juga tidak ingin begini terus.” Itulah yang selalu dia ucapkan untuk membujukku.

***

Aku berhasil membujuk Rasya untuk datang ke sekolah hari ini. Kukatakan padanya, “Jadi anak laki-laki harus kuat dan bertanggung jawab.”

Ya, aku mengajarkan Rasya untuk tidak menghindar dari tanggung jawab apa pun alasannya. Hanya pengecut yang bersembunyi dan menyerah sebelum bertanding. Akhirnya, bocah lima tahunku itu kembali bersemangat dan mau mengikuti acara walau tanpa kehadiran ayahnya.

Aku tak gentar, walau harus sendirian di antara bapak-bapak yang mengantar anak-anaknya. Kusetel kamera pada posisi ready, mengabadikan semua kata yang akan diucapkan Rasya di atas pentas.

“Halo, teman-teman semua, aku Rasya. Papa Rasya tidak bisa datang, karena sedang sibuk kerja. Kata Mama, Papa itu hebat. Papaku superstar, jadi setiap hari kerjanya main film. Papa pernah liatin filmnya ke Rasya. Keren banget loh, Papa lompat dari helikopter ke gedung tinggi.

Kalau sudah besar, Rasya pengin kayak Papa, jadi bintang film terkenal. Fotonya ada di mana-mana. Bu Guru dan Om-om di sini pasti kenal sama Papa,” ucap Rasya dengan segala keluguannya. Hingga beberapa orang yang hadir bertanya padanya. Sebagian lainnya tampak berbisik-bisik.

“Rasya, nama Papa Rasya siapa?” Entah karena kepo tingkat dewa atau benar-benar ingin bertanya. Aku sudah pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya.

“Papa Rasya, Arash Sugara, Om,” jawab Rasya polos, tersenyum bangga.

***

Sudah seminggu ini, aku mematikan televisi dan menonaktifkan semua media sosial. Berita tentang kehidupan pribadi Arash yang mulai tercium publik, membuatku harus menutup diri untuk sementara. Ternyata, salah satu orang tua teman Rasya waktu itu adalah seorang wartawan infotainment.

Video pengakuan polos Rasyaku sebagai putra Arash Sugara beredar luas di jagat maya. Sisi gelap ayahnya sebagai seorang aktor laga papan atas kini menuai sensasi yang laris digoreng oleh berbagai media.

Maafkan aku, Mas. Sudah waktunya Rasya mendapat status yang jelas, demi masa depannya, batinku, sebelum melakukan konferensi pers—menjawab tuduhan perzinahan yang dilayangkan oleh Ratna—istri sahnya.

***

Jogja, 9 Juni 2020



Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.