Thursday, January 7, 2021


 

#NAD_TemaMingguan

#NAD_CintaDiamDiam

 

Kisah ini hanya fiksi. Jika ada kesamaan tokoh, tempat, dan cerita, itu hanyalah kebetulan semata.

 

***

 

Flying Without Wings

Oleh: Silvia Destriani

 

Lagi-lagi aku harus tertunduk di hadapan Bu Prapti, terpaksa mendengarkan segala nasihatnya yang terdengar bagaikan dengung nyamuk. Entah sudah ke berapa kali hingga ruang BP ini terasa begitu familier.

 

“Vin, ini sudah masuk caturwulan dua. Kalau tidak dari sekarang kamu berubah, mau kapan lagi. Apa kamu rela melihat teman-temanmu lulus duluan?” Nada suara Bu Prapti yang awalnya meledak-ledak mulai menurun. Aku yakin, dia mulai bosan.

 

Setelah itu, sebuah surat berkop SMA Negeri favorit kubawa pulang sebagai oleh-oleh. ‘Ah, sial!’

 

“Ibu tunggu kedatangan orang tuamu, Vin!” ucap Bu Prapti. Aku tahu, dia kecewa. “Silakan kembali ke kelas.”

 

Seminggu sudah aku membolos. Kalau saja kemarin sore Rendi tak memaksaku untuk datang hari ini, mungkin aku akan terus membolos entah sampai kapan. “Vin, pokoknya kau bakalan nyesel kalau nggak datang. Udah seminggu ini kelas kita diajar Bu Ayu. Alamaaak, cantik kali dia.”

 

Ah, secantik apa, sih? Bukannya aku tidak tahu selera Rendi, paling-paling tidak lebih cantik dari Siska—anak IPS yang ditaksirnya.

 

***

 

Suasana kelas masih sama seperti biasanya, riuh rendah selagi menanti guru datang. Dengan malas kumiringkan badan menempel ke tembok, perlahan memejamkan mata.

 

“Vin, woy, Vin! Ssst ... bangun!” Sikutan Rendi membuatku terkejut dan spontan berteriak.

 

“Apa, sih, ganggu aja!”

 

Satu kelas pun kompak berseru, “Huuu!”

 

“Sudah puas tidurnya?” Demi apa seraut wajah ayu sudah berada beberapa jengkal di hadapanku. “Ayo, cuci muka dulu!”

 

Lagi, seruan “Huuu!” meluncur sempurna dari mulut-mulut mereka. ‘Kampret!’

 

Hari pertama pertemuanku dengan Bu Ayu sungguh mengesankan. Aku terpaksa menerima hukuman darinya untuk menyelesaikan sepuluh soal matematika di depan kelas, gara-gara tertidur di jam sekolah. Tentu saja, ia terbengong-bengong melihat kejeniusanku. ‘Ini baru permulaan, Bu.’ Kenalkan, aku Alvino Pradipta—juara matematika tingkat provinsi.

 

***

 

Selepas pelajaran terakhir, aku kembali dipanggil ke ruang BP. Namun, kali ini bukan hanya Bu Prapti, ada seorang lagi—bu guru baru idolaku—Ayu Savanah.

 

“Ehm, maaf, Bu. Bukannya ayah saya sudah datang tadi pagi?” Aku sedikit gugup, berpikir keras—kesalahan apalagi yang kubuat?

 

“Tenang, Vin, kamu nggak ada salah apa-apa. Beberapa hari ini saya terus memantau perkembanganmu. Ini loh, Bu Ayu penasaran kamu sering bolos, tapi kok pintar.” Ucapan Bu Prapti kontan membuatku sedikit bangga. Aku sebenarnya bukanlah siswa bermasalah, tapi ....

 

“Turut bela sungkawa ya, Vin. Saya maklum kenapa kamu bisa begitu. Tapi, percayalah, almarhumah ibumu sudah bahagia di sana dan nggak akan suka kalau kamu terus-terusan bersedih,” ujar Bu Ayu dengan suara yang sungguh menyejukkan. Seperti sedang haus-hausnya di tengah hari bolong, lalu minum es tebu. Ah, segarnya.

 

‘Ibu ... idola saya banget.’

 

***

 

“Ayah senang kamu sudah kembali seperti dulu, Vin.” Aku tahu lelaki ‘role model’-ku itu sekarang bisa bernapas lega. Bukan perihal mudah setelah ditinggal istri tercinta, lalu dihadapkan dengan problematika anak remaja yang bertingkah sepeninggal ibundanya.

 

“Maafin Alvin, Yah.” Aku pun berlalu setelah mencium tangannya dengan takzim, memohon restu agar lancar menjalani ujian akhir yang sudah di depan mata.

 

Kukira itu semua juga karena campur tangan Bu Ayu. Mau tidak mau, suka tidak suka, Ayu Savanah telah memotivasiku untuk keluar dari keterpurukan.

 

Sifatnya yang keibuan dan penuh perhatian membuatku jatuh hati. Aku merasa menemukan sosok ibu yang hilang. Namun, di sisi lain, aku pun selalu berdebar berdekatan dengan perempuan cantik berusia sekitar seperempat abad itu.

 

Dia adalah perempuan yang sempurna. Cantik, pintar, baik hati ada dalam satu paket. Benar-benar proporsional untuk dijadikan ibu dari anak-anakku kelak. ‘Ngawur kamu, Vin!’

 

Ayu Savanah telah mengalihkan duniaku dengan gaya berjalannya, cara berbicaranya, saat dia tersenyum, pun saat dia kesal pada murid yang bandel. Ah, benar-benar menggemaskan.

 

Betapa memesonanya dia, hingga aku berkhayal terlalu tinggi untuk sukses lalu menjadikannya pendamping hidup.

 

“Woy, ngelamun aja kau! Nih, undangan dari Bu Ayu, buat kita sekelas.” Secepat kilat aku menoleh dan menyambar secarik amplop biru muda dari tangan Rendi. Entah mengapa, wajahku seketika terasa panas, degup jantung kian memburu, hatiku perih.

 

***

 

Adegan yang sungguh menyesakkan. Kalau tidak karena ingin menumpahkan kerinduan pada perempuan idaman, aku tak akan mau berdiri di sini. Menyaksikan Ayu Savanah yang cantik berbalut kebaya modern berdampingan dengan seorang lelaki yang tampan lagi gagah, benar-benar menyiksa.

 

Senyumnya terus terukir, menampakkan kebahagiaan. Aku cemburu, berkhayal akulah yang berada di sampingnya. Tunggu saja, kupastikan posisiku kelak akan lebih tinggi dari lelaki itu.

 

Hari ini juga, aku pun membuat keputusan terbesar dalam hidupku. Tekadku sudah bulat, tak peduli guru-guru dan teman-temanku terus meminta untuk berpikir berkali-kali.

 

***

 

“Apa sudah kau pikirkan matang-matang, Vin? Ini bukan hanya menyangkut dirimu sendiri, tapi juga adik-adik kelasmu. Pihak universitas pasti akan mem-blacklist sekolah kita untuk beberapa tahun ke depan,” ucap Bu Prapti, mencoba membujukku.

 

Ya, aku telah merelakan PMDK yang kudapat, melepaskan kesempatan menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Unpad—tanpa tes, untuk hijrah ke Magelang.

 

“Gila kau, Vin. Pergi-pergi aja, nggak bilang-bilang. Kau harus traktir aku kalau pulang nanti!” Rendi berteriak dari sambungan telepon. Bahkan sahabat karibku itu tak tahu keputusanku ini adalah sebuah pelarian. Entahlah ... aku pun tak tahu pasti. Sebuah pelarian ataukah ambisi.

 

Satu-satunya yang paling mendukungku hanyalah Ayah. Mungkin ia bangga, karena aku bisa menggapai cita-citanya yang tak pernah kesampaian.

 

***

 

Setelah setahun menjalani pendidikan di Resimen Chandradimuka Magelang, di tahun kedua aku hijrah ke Yogyakarta untuk menjadi taruna Akademi Angkatan Udara.

 

Ritme pendidikan yang disiplin dan ketat, sedikit bisa mengalihkan rasa patah hatiku dari cinta pertama. Namun, tentu saja tak melenyapkan perasaan rinduku padanya. Perasaan yang semestinya kubuang jauh-jauh sejak hari sakral itu, semakin hari malah semakin menjadi.

 

Di sela-sela waktu istirahat, aku sempatkan diri untuk menelepon orang-orang terdekat.

 

“Eh, Vin, apa kabar kau? Oh ya, kapan hari kami besuk Bu Ayu. Dia baru lahiran anak pertama, ganteng kayak bapaknya.” Dari Rendilah aku mendapatkan sekeping demi sekeping kabar tentang Bu Ayu. Tentu saja, sambil tertawa menutupi perih itu.

 

***

 

Lima tahun berlalu. Aku berkesempatan pulang beberapa hari untuk menemui Ayah, sebelum menjalani pendidikan Sekolah Penerbang. Ya, aku terpilih di antara ratusan siswa lain. Begitu bangganya Ayah, karena aku berhasil melebihi impiannya untuk hanya sekadar menjadi seorang perwira, malahan bakal menjadi seorang penerbang AU.

 

Aku pun menyempatkan diri untuk menghubungi Rendi. Sayangnya, dia sedang di luar kota untuk melaksanakan KKN. Ah, sebenarnya aku hanya ingin menanyakan kabar Bu Ayu padanya. Pasti dia sedang berbahagia bersama keluarga kecilnya. Tak cukup nyaliku untuk datang berkunjung.

 

***

 

Lepas dari masa Ikatan Dinas Pendek sebagai penerbang, tahun ini aku cukup beruntung bisa ikut dalam kegiatan pengenalan alutsista di Wing Udara 7 Lanud Supadio—di kota kelahiranku. Betapa bangganya Ayah melihatku dalam balutan coverall jingga berpangkat Kapten.

 

Di antara keramaian pengunjung, beberapa siswi SMA mendatangiku, minta berfoto bareng dan bertanya dengan malu-malu. Mereka menyalin setiap penjelasanku dengan saksama. Aku teringat masa-masa saat berseragam putih abu-abu dulu, dan tentu saja ... padanya.

 

“Kalian dari SMA 1, ya?” tanyaku. “Sampaikan salam saya, ya, buat Bu Ayu.” Saat itulah, dari balik kacamata hitam yang kukenakan tampak sosok yang tidak asing lagi di antara siswa-siswi itu. Seketika detak jantungku berkejaran, wajahku menghangat bukan karena teriknya matahari siang itu, tapi ....

 

“Vin? Alvin, kan?” Akhirnya aku bisa memandangi wajah itu lagi, setelah hampir sepuluh tahun berlalu.

 

Kami berbincang cukup lama. Hatiku merasa perih setelah mendengar penuturannya. Bukan karena cemburu, tetapi karena kejadian buruk yang telah ia alami sekitar dua tahun yang lalu. Kesialan yang menyebabkan ia kehilangan orang-orang yang dicintai.

 

Ingin rasanya kurengkuh tubuh mungil itu, melesapkan segala kesedihan yang tampak jelas di sorot matanya ke dalam dadaku.

 

***

 

“Mama nggak langsung nerima Papa, kan?” Sarah bertanya dengan antusias.

 

“Butuh setahun untuk mamamu berpikir, Sar. Bukanlah hal yang mudah untuk berubah status dari guru menjadi seorang istri dari muridnya sendiri. Walaupun Mama hanya lebih tua tujuh tahun dari Papa.” Aku menarik napas panjang. Butuh oksigen lebih banyak untuk mengingat-ingat kembali kisah itu.”Apalagi Mama punya trauma tersendiri.”

 

Ya, Ayu kehilangan keluarganya karena kecelakaan. Ketika ia mengajar, suami dan putra kecilnya yang berada di rumah menjadi korban pesawat latih yang jatuh di pemukiman.

 

“Gimana dong Papa meyakinkan Mama?” tanya gadis berparas sama dengan cinta pertama dan terakhirku itu.

 

“Apa gunanya Papa jadi penerbang handal kalau tidak bisa mendaratkan cinta dengan mulus di hati Mama?” jawabku sambil terkekeh, menutupi luka yang belum sepenuhnya pulih.

 

“Ahh, co cwiiit,” seloroh gadis itu, diiringi gugurnya beberapa bunga kamboja yang setahun ini menghiasi pusara sang bunda.

 

 

Jogja, 6 Januari 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Silvie's Notes . 2019 Copyright. All rights reserved || Kontak Kami : silvia.destriani@gmail.com.